Safri Ishak



Version 14-SEP-2010


Shoutbox

Pulang Kampung ke Muntok (Bangka) 06-09-MAR-2009

Hampir 45 tahun saya tidak pulang kampung, akhirnya setelah beberapa bulan persiapan diantaranya menghubungi adik kami Noviar Ishak dan memesan online ticket, maka tepat pada hari Jum'at tanggal 06-MAR-2009 bertepatan dengan ulang tahun anak kami Winry, kami memulai perjalanan pulang kampung.

Pukul enam pagi kurang beberapa menit, kami, Winry, istri saya dan saya berangkat menuju Bandara Soekarno Hatta pakai taxi, lewat Pancoran Tebet, jalan tol dalam kota dan sampai di airport jam tujuh kurang seperempat. Karena baru pertama kali booking ticket secara online, saya agak bingung juga mau check in, biasanya untuk melalui pemeriksaan pertama security gate kita harus menunjukkan ticket. Padahal kami hanya membawa konfirmasi pembelian ticket berupa computer print out, sempat tanya sama loper yang membawa bagasi kami, rupanya computer print out tadi fungsinya sama dengan ticket, praktis, hemat kertas dan lebih ramah lingkungan. Check in di counter jurusan Jakarta Pangkal Pinang buka tepat jam 07:00 sesuai rencana, kami bawa dua luggage dengan berat total 25 kg, untuk perbandingan nanti waktu pulang ke Jakarta jadi berapa kilo sesudah ditambah oleh-oleh :). Alhamdulillah naik ke pesawat dan take off tepat waktu. Di dalam pesawat seperti biasa ditanya mau minum apa, saya dan Winry pesan teh hijau, istri saya minta kopi, setelah dihidangkan pramugari bilang semuanya tiga puluh delapan ribu pak, nah lu, kirain gratis ......... he he jaman gene mau gratis :)

Dulu tahun 1961 dari Muntok ke Jakarta naik kapal laut dan kali ini pertama kali lihat pulau Bangka dari udara, saya tidak dapat membandingkan Banka dulu sama sekarang, tetapi menurut penumpang disebelah saya sebagian hutan Bangka sudah rusak akibat penambangan timah.

Pesawat mendarat di bandara Depati Amir Pangkal Pinang tepat waktu dan adik kami Noviar dan Cita sudah datang menjemput kami. Setelah mengumpulkan barang bawaan kami naik mobil menuju kota, hampir jam sebelas kami sampai di kota dan acara pertama adalah makan siang.

Rumah Makan Masakan Bangka Palapa Raya
Adik kami ngajak singgah di rumah makan Masakan Bangka Palapa Raya di jalan Masjid Jamik, mau tahu menunya, mula-mula nasi putih panas satu bakul, ulam timun, selada dan kemangi, ikan singkor bakar dengan sambal belacan pakai limau calong, ikan pari gulai tumis, cumi goreng asam garam, gulai otak, gulai lempah kuning kepala ikan kuwe campur pucuk kedondong, lempah darat komplet ada sulur keladi, labu darat, kacang panjang, terong, nangka muda pokoknya komplet ditambah sambal belacan.
Lah lame lah tebayang bayang makan macam ni, nasi sebakul habis dimakan belime, semua hidangan pas same lidah e orang Bangka .......... hmm sedap nian ok.

Setelah makan siang langsung menuju base camp ke rumah adik kami di jalan Kemboja, rumahnya asri, macam macam pohon buah dan tanaman hias, burung beo, murai, ikan gurami, ikan koi dll.


Yang menarik proses penyimpanan air untuk menyiram tanaman dan pembuatan kompos, sangat ramah lingkungan. Air dari kamar mandi ditampung di septic tank seperti biasa, tetapi tidak disediakan rembesan, air overflow dari septic tank dialirkan kedalam bak nomor satu atau bak penjernihan.

Air di bak nomor satu dicampur dengan air dari bak nomor dua atau bak utama dengan menggunakan pompa sedot. Sambil air dicampur terjadi proses pengendapan dan air yang sudah jernih dari bak satu akan mengalir ke bak induk, overflow atau air yang tidak tetampung di bak induk, dialirkan ke bak nomor tiga atau bak pembuatan kompos yang berisi daun sisa tanaman dan potongan rumput, kalau ada limpahan air di bak pembuatan kompos, maka air dialirkan ke saluran pembuangan.

Di bak nomor satu atau bak penjernihan tumbuh tanaman kiambang sebagai indikator bahwa air layak pakai untuk kolam ikan atau menyiram tanaman. Dan memang air yang ditampung di bak utama dipakai untuk menyiram tanaman dan rumput serta di dalam bak ini juga dipelihara ikan gurami yang pastinya menambah subur air kolam.

Kompos sebagai hasil proses pelapukan daun dan potongan rumput, dijemur lalu diayak dan digunakan untuk pupuk tanaman. Dengan proses semacam ini maka sedikit sekali air kamar mandi yang terbuang karena dipakai untuk menyiram tanaman serta sisa tanaman dan potongan rumput tidak menjadi sampah tetapi diproses menjadi kompos.

Selain ramah lingkungan proses penjernihan air dan pembuatan kompos menghasilkan tanaman yang subur karena disiram dengan air yang sudah mengandung pupuk organik dan dipupuk dengan kompos.


Setelah sholat Jum'at di Masjid Baitul Hikmah, Kacang Pedang, kami menuju pasar Mambo Pasar Tengah, jajan es kacang merah dan empek-empek ditambah cuka pakai tauco. Cuka disajikan dalam botol, terus kalau mau makan empek-empek, cuka dituang dalam mangkok kecil, empek-empek digigit dan dikunyak lalu sluruuup cuka dihirup ........ mantap.

Dari pasar Mambo kami jalan-jalan ke Pantai Pasir Padi, selain berkunjung ke sanak famili, makan masakan Bangka, maka mengunjungi sebanyak mungkin pantai di Bangka adalah target kami.
Pantai Pasir Padi menurut salah satu anak muda dari Pangkal Pinang, click disini.


Karena waktu yang sangat terbatas, kami hanya tiga hari di Bangka, maka dari Pantai Pasir Padi kami langsung berburu oleh-oleh di toko Aneka Citra Snack, beli kerupuk, kemplang, sambal lengkong, getas ikan, snack telur cumi, snack siput gonggong goreng etc. etc. Dari sini kami sempat singgah ke rumah kawan kami SeDed alias Muchsin di jalan Ledeng, dulu kawan main kami di Kampong Ulu Muntok, dan di Jakarta sempat kuliah sama sama di Jurusan Sipil Fakultas Teknik UI, sekarang Ded sudah pensiun dari PT Timah dan rencananya akan pindah lagi ke Muntok.

Malam harinya lihat Babel Expo 2009, macam macam kerajinanan, kesenian, makanan, sandang dan wisata khas Bangka Belitung di pamerkan. Selesai melihat expo, makan malam di Mutiara Seafood Jalan Raya Koba, mencicipi sop ikan krisi, kangkung cah belacan, ikan kuwe lempah nenas dan sambal belacan limau calong.
Pulang ke rumah, ngobrol dan membuat rencana perjalanan ke Mentok sambil mendengarkan lagu dengan logat bangka ada juga irama gambus. Disini pertama kali saya menggunakan rechargeable mosquito swatter, raket untuk menjaring nyamuk, biasanya saya menggunakan kaki sebagai umpan lalu kalau ada nyamuk langsung di gebuk pakai gulungan koran.


Hari Sabtu tanggal 07 Maret 2009, tibalah hari yang ditunggu-tunggu, perjalanan menuju Mentok, a trip to my home town. Usai shalat Subuh dan sarapan kami memulai perjalanan, mulai dari rumah adik kami Noviar di jalan Kemboja, melewati jembatan waduk penampungan air untuk PDAM, terus menuju jalan negara antar kota. Keluar dari kota Pangkal Pinang, kiri kanan jalan, banyak pohon karet, diselingi pohon durian, rambutan, manggis, jambu dan pohon buah lainnya, ada juga pohon keramunting, sikaduduk, simpur dan pohon serok. Sepintas tidak kelihatan kerusakan hutan akibat penambangan timah, menurut adik kami, para penambang timah berusaha agar lokasi mereka tidak kelihatan dari jalan besar, jadi mereka menggali dan mencuci pasir timah agak kedalam hutan, kalau ada kesempatan saya pingin melihat aktivitas mereka.
Karena hari masih pagi, selintas kami sempat melihat acara mandi bersama di anak sungai di kiri kanan jalan, orang tua, orang muda dan anak-anak mandi dan mencuci, masih untung ada pembagian waktu antara wanita dan pria. :)


sumber peta bangka

 
Kualitas jalan Pangkal Pinang - Muntok bagus, sudah hot mixed, kendaraan masih jarang, sekali sekali berpapasan dengan bus umum sehingga kami sangat menikmati perjalanan mulai dari Pangkal Pinang, melewati Petaling, Puding Besar, Kelapa, Simpang Jebus, Simpang Teritip sampai Mentok kami tempuh sekitar dua jam dengan jarak tempuh sekitar 130 km.

Mulai berangkat dari Pangkal Pinang sampai ke Mentok hujan terus, padahal menurut adik kami sudah beberapa hari tidak turun hujan.

Kami masuk Mentok melalui kampong jawe, komplek perkantoran bupati, lapangan bola, nah mulai lapangan bola ini lah memori saya mengenai jalan di kota mentok muncul kembali. Dibelakang gawang ada tebing sekitar dua meter, ditumbuhi rumput, saya masih ingat suka main prosotan disitu.

Dari lapangan bola, melewati jalan tebing gadai, terus menuju lembung atau pelabuhan, disini sempat melihat orang mancing ikan, umpannya dari udang dan kelihatan sudah dapat satu ekor ikan belukang atau baung laut, samar samar terlihat pantai dan perumahan di Kampong Tanjong serta mercu suar legendaris Tanjung Kelian. Pagi itu masih kelihatan kegiatan bongkar muat hasil laut di pelabuhan Muntok, dari pelabuhan hasil laut tersebut sebagian dikirim ke pasar ikan Muntok dan sebagian lagi di kirim ke Pangkal Pinang. Dulu saya sering main ke pelabuhan, memancing ikan dan melihat kegiatan bongkar muat barang dan penumpang turun naik kapal kecil menuju Palembang, waktu itu Pelabuhan Muntok merupakan pintu gerbang Bangka, karena semua barang kebutuhan dari Pulau Jawa dan Sumatra dikirim dari Palembang melalui Muntok.

Dari lembung kami menuju pasar lama yang terletak dekat Masjid Jamik dan Kelenteng Kwan Tie Miaw melewati jalan depan rumah mayor. Masjid Jamik dan Kelenteng Kwan Tie Miaw (FB Chatting: Silik Firdaus: kelenteng mentok di blogs foto abang tu namenye kong fuk miau... men org melayu banyak dak tau dak bang namenye yg sebelah mesjid jami tu) kelenteng dan masjid berdampingan hanya dibatasi jalan kecil menuju tanjung kelian, lewat pemakaman dan rumah adik saya Erman. Di belakang masjid ada gang kecil disebelah kanan, gang tersebut menuju ke rumah kami dulu, kalau ngantar kue ke pasar setelah subuh saya dan kakak saya Farida lewat situ. Kalau disuruh Mak ngambil ikan jualan Atok di pasar saya paling semangat lewat gang tersebut karena disitu ada rumah teman satu sekolah anak perempuan keturunan arab, siapa tahu bisa saling bertukar senyum, sayang saya sudah lupa namanya.

Catatan Pak Imran (Anak Neksu) Sent: Monday, April 13, 2009 3:50:09 PM Subject: pulang kampong

Assalamu'alaikum Wr.Wb.
Setelah kami bace cerite polang kampong, kami cerite polak ke Mak Yak Jaw dan Mak Long.
Kate mak Long, anak perempuan arab yang dibelakang mesjid tu namenye Cik Zahara, molek ye?. biasenye kalok keturunan arab tu, molek- molek, he he he.. Tapi sekarang rumah tu lah jadi kedai kopi.

Oh ye waktu ke telok rubiah ke tempat We Mok, makan janggut doyong (rumput laut) dak? Pak we Mat biasenye rajin nyarek janggut doyong dilaut belakang rumah. Janggut doyong tu same mak kami suke dibuat kerabu (urap). Sedap.

Terema kaseh lah nyempatkan untuk nengok mak kami dan terema kaseh juga atas infonye tentang milis orang2 mentok.

Wassalam,
Imran Kadir

lembong
lembong
mesjid jamik
kelenteng


Persaudaraan Tionghoa - Melayu di Bangka Belitung.
Sumber: Kompas
http://www.bangkapos.com/detail.php?section=1&category=47&subcat=146&id=16841

KOTA Muntok tahun 1885. Tumenggung Kertanegara II, penguasa wilayah Bangka, berhasrat membangun masjid besar di kampung halamannya sendiri. Masjid yang dikenal dengan nama Masjid Jami’ Muntok itu dibangun persis di sebelah Kelenteng Kuang Fuk Miau.

Kelenteng Kuang Fuk Miau itu sudah ada sejak tahun 1820-an. Dalam buku Sejarah Masjid Jamik Muntok yang ditulis Raden Affan, tokoh masyarakat di Muntok, Kabupaten Bangka Barat, disebutkan, masjid yang usianya lebih dari satu abad itu dibangun secara bergotong royong. Demi mendirikan masjid, penduduk Muntok dan sekitarnya bekerja sukarela tanpa diupah.

Dana untuk membangun masjid dikumpulkan bersama. Para hartawan di Muntok menyumbang uang atau bahan bangunan untuk keperluan masjid. Mereka mendatangkan ahli bangunan dari berbagai daerah di Bangka dan Belitung, juga memesan bahan baku berkualitas dari Jakarta, seperti genteng, batu bata, batu marmer, dan batu pualam.

Pendirian rumah ibadah pada masa itu tidak hanya melibatkan masyarakat Melayu yang beragama Islam. Zhong A Tiam, seorang mayor China yang bertugas mengurus warga China perantauan di Muntok, ikut memperkokoh bangunan masjid. Dengan harta pribadinya, sang mayor menyumbang empat tiang utama penyokong bangunan masjid. Tiang itu terbuat dari kayu bulin yang konon lebih kuat daripada kayu jati.

Meski A Tiam beragama Konghucu, ia ikut membantu lancarnya pelaksanaan ibadah di masjid. Untuk keperluan beribadah pada malam hari, sang mayor menyuruh orang untuk mengantarkan minyak kelapa sawit sebagai bahan bakar penerangan di masjid yang selesai dibangun dalam kurun waktu dua tahun itu, yaitu pada tahun 1887.

Kedekatan kelenteng dan masjid di Muntok menjadi simbol persaudaraan antarumat beragama, khususnya Konghucu dan Islam di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Etnis terbesar yang mendiami dua wilayah kepulauan itu adalah Melayu dan Tionghoa. Sampai sekarang, kerukunan itu masih terjaga.

Seratus tahun kemudian, setelah pendirian masjid di Muntok, pada tahun 2002 di Desa Jeliti, kota Sungailiat, Kabupaten Bangka, didirikan tiga rumah ibadah, yaitu Masjid Baiturahman, Kelenteng Dewi Kuan Yin, dan gereja. Ketiga rumah ibadah ini masing-masing hanya berjarak sekitar 50 meter.

Menurut Ajam (60), pengurus kelenteng, ketiga rumah ibadah itu didirikan oleh Hermanto Wijaya, seorang guru bahasa Mandarin di Sungailiat. Hermanto mendirikan Kelenteng Dewi Kuan Yin sebagai bentuk pemujaan terhadap dewi berparas cantik dan punya sifat welas asih ini.

Kelenteng Dewi Kuan Yin tak hanya dikunjungi umat Konghucu, tetapi juga penganut agama lain. Menurut Ajam, pengunjung biasanya datang ke kelenteng untuk mengambil air sumur dan mandi di kolam.

”Bagi yang percaya, air sumur bisa menyembuhkan penyakit dan air kolam bisa membuat awet muda,” kata Ajam. Karena pengurus masjid belum terbentuk, untuk sementara Ajam yang beragama Konghucu ini setiap hari merawat dan membersihkan masjid.

Lusiana Indriasari & Ilham Khoiri
Kompas cetak.


Di pasar singgah ontok sarapan, adek kami meleh salah satu kedai kupi yaitu kedai kupi Akhyar, petak nomor due sebelah kanan dari arah kelenteng, sekarang kedai kupi lah full music ok, waktu kami kecik dolok ngantar kue same lakse jualan mak, kedai kupi maseh sederhane dan tempatnye di lorong tengah. Ontongnye suasane dan nuansa kedai kupi maseh cam dolok lah, banyak orang pasar dan orang polang mancing menom kupi sambel ngerahol, kuweh jugak dak dihidangkan ke meje maseng-maseng, jadi ade jak orang yang tibe-tibe langsong ngambek kuweh dari pereng dimuke kite :)
Bini kami langsong pesan kopi, karena dari romah di Jakarta lah tebayang-bayang nak menom kopi O yang disareng pakai sarengan dari kaen, macam macam penganan ade disitu, sayangnye dak de lakse mentok, kate adek kami kalok nak makan lakse ade di telok biah, mudah-mudahan dak keponan makan lakse.



lembong
rumah mayor
kelenteng
kelenteng & mesjid
kedai kopi
kedai kopi

Usai sarapan kami menuju rumah adik kami Noviar dekat perumahan Peltim (Peleburan Timah Muntok), istirahat sejenak sebelum meneruskan perjalanan, Noviar yang paling perlu istirahat karena Noviar yang menyetir mobil. Setelah selesai istirahat dan bersih bersih, kami melihat komplek perkantoran dan perumahan Peltim, disini ada hutan kota yang dipelihara dengan baik dan menurut adik kami hutan ini merupakan nilai tambah bagi kabupaten bangka barat untuk meraih Adipura. Kemudian kami menelusuri jalan sambil melihat pemandangan pantai Pait Muntok, sedang dilakukan reboisasi, sudah mulai kelihatan pohon bakau tumbuh, di pantai ini ada anak sungai yang airnya mengalir kepantai, mudah mudahan hutan kota dipelihara dengan baik sehingga anak sungai tadi tidak kering.

rumah noviar
pantai peltim
pantai peltim
pantai peltim


Dari sana kami menuju rumah adik kami Erman, dari pasar sebelum jembatan belok kanan lewat kampong Ulu. Di kampong Ulu sempat ketemu Robet anak Ngah Yang, sekarang Robet buka warung didepan rumahnya, jual es, empek-empek, kerupuk dan makanan kecil lainnya. Rumah kami dulu dibelakang rumah Robet, waktu mak sama ayah merantau ke Jakarta tahun 1961, rumah tersebut dibeli Nek Su adik Nek Tebing nenek kami dari pihak mak. Rumah itu sekarang dikontrakkan karena Nek Su ikut anaknya Mak Long same Mak Yak Jaw di dekat perumahan Peltim (Peleburan Timah Muntok).

Setelah lihat rumah kami dulu, saya, adik saya Noviar dan anak saya Winry, jalan melewati jerambah alias jembatan sungai kampung Ulu. Disungai ini dulu tempat saya mancing dan memanah ikan dan udang, cuma waktu saya pulang kampong ini, air sungai keruh dan arusnya deras, mungkin karena habis hujan. Kalau habis hujan begini biasanya banyak ikan sembilang, selain memancing dari atas jembatan dulu kami suka main kapal kapalan, sepotong kayu sekitar 30-40 cm, kedua ujungnya diikat benang yang agak besar dan kuat panjang sekitar 30 m, kayu dilempar kesungai, kayu akan mengambang karena derasnya air sungai dan dapat diarahkan dengan benang yang kita pegang, kekiri kekanan mirip orang main ski air, biasanya kami mencoba mengait barang barang yang hanyut di sungai.

rumah kampung ulu mentok
jembatan kampung ulu mentok
sawo tampoi mentok
bang robet
rumah neksu
jembatan kp ulu
sawe lile di kpulu

Diseberang jembatan, sebelah kanan dulu ada "kantor pos" tiap pagi banyak yang nyetor disitu alias buang air besar, bunyinya asik, plung, plung dan dibawah sudah menunggu ikan belokoh, jadi langsung didaur ulang, untung sekarang sudah tidak ada lagi, rupanya masing masing rumah sudah punya "kantor pos" sendiri. Disebelah kiri jembatan ada surau kampung ulu, didepan surau dulu ada tangga tempat mandi dan tempat kami bermain disungai, cuma sekarang kelihatannya sudah tidak ada lagi.

Di ujung jembatan kami kearah kanan, ada tanah lapangan tempat dulu saya main bola, main galah panjang, main kelereng dan main gasing bersama kawan-kawan. Di lapangan dekat rumah Abang Adek itu tumbuh pohon sawo kecil, mirip sawo apel tetapi ukuran buahnya mini, kalau lewat disitu saya selalu manjat pohon sawo tersebut dan sampai di atas mulai megang megang buah sawo, kalau ada yang sudah lembut berarti sudah masak, langsung dipetik, dibelah dua, isinya dimakan, manis rasanya. Hebatnya, pohon sawo itu masih ada dan dalam penglihatan saya masih seperti dulu, cuma kali ini saya tidak berani manjat, pertama sudah tidak mampu dan yang kedua malu sama yang punya :) Adik saya Noviar sempat memungut biji sawo yang jatuh, katanya mau ditanam, sawo ini unik, buah-nya kecil kecil tetapi tidak sama dengan sawo kecik yang banyak tumbuh di kraton Jogya.

Catatan Noviar Ishak Sent: Sunday, April 19, 2009 11:09:46 PM
Subject: Pulang kampung

Ass,
Malam ini baru sempat baca cerita pulang kampung dan iklan jual rumah.
Cerita pulang kampung seru, banyak juga yg kasih komentar. Biji sawo yang piyai ambil ada beberapa mulai berkecambah, mdh2an ada yg hidup. Piyai sempat cerita sama Pak Parhan, dia pesan satu kalau hidup.


Catatan Abang Taufik 01APR2009 "Assalamualikum pak Safri, btg sawe yg di kp ulu tu namenye sawe tampoi & mnrt Alm ayah kami, waktu beliau kecil btg nye udh segitulah, jd mgkn umur sawe tu udh lebih 100 th".

Catatan Zayadi A Rachman 01APR2009 "to : Om Safri, kalok dak salah name e sawe lile ...... mon kate orang kp. ulu sawe tu bukan sawe lile tapi sawe cik lie, soal e yang nanam duluk tu cerite e cik lie tuh......"

Catatan Fitriagus Riani 01APR2009 "Om safri, sawe tu emang enak om...biarpun kecik tp rase e manis dak setahan. duluk agik kecik suke ngambek e tu same atok kami biase e kalo dak kami yg manjat, sepupu2 kami tu yg manjat e....sudah tu dicuci di sungai ulu ...diperam lah brp hari, lah masak wadau mantap e... nale... sambil duduk diperayun bawah batang kelengkeng dpn rumah ibu manah ..... masa kecik yg indah tp skrg men polang lah mls ngambek e ..... dibelakang romah tu ade tapi bukan sawe yg kecik2 , sawe yg besak dak tau ape name e kurang manis emang...."


Bentuk buahnya memang mirip dengan buah tampoi.

Kami terus menelusuri jalan kecil kekanan, nampaknya sudah tidak ada yang kenal sama saya, kami meliwati rumah Nek Su yang lama, ada juga rumah tempat dulu kami suka beli roti, terus rumah alm. Tok Cik Lah tempat kami belajar mengaji. Lihat buah namnam, jalan lagi sampai tembus ke jalan besar, lalu kami balik lagi ke mobil dan meneruskan perjalanan menuju rumah adik kami Erman.

rumah kampung ulu mentok
Rumah Neksu Kadir, umah waktu saya kecil di Kampung Ulu.
Komentar FB: Dadang Darmawan
waktu kecik dulu kami sering tiduk di rumah enek. karena rame, kami tiduk belampar di ruang tengah depan tv. rasanya hangat, karena banyak orang. pagi'e kami sarapan dgn kue dari enek. anehnya, walaupun cuma makan sikok, rasanya lah kenyang sampai siang, beda dgn di rmh - kalau lom makan nasi, rasanya ndak sah.

Mandipun lebih banyak di sungai depan, sm saudara2 dan anak2 ngah yang.
Skrng kami baru tahu, rumah nek kami tu ternyata rmh bang safri waktu kecik :)

Safri Ishak
@Bang Dadang: berarti ekak ni cucu Neksu ye ..... kalok boleh tau anak sape ...

Dadang Darmawan
anaknye mak jaw (jawahir kadir), waktu bang safri ke mentok thn kemarin, sempat ketemu pas lihat enek di rmh kami. inget dak bang ? di jalan kuning nak ke peltim tu...

Safri Ishak
Ye lah ... agek engat kami ketemu same Neksu .... kalok pas nelpon ke mentok tolong sampaikan salam hormat kami ontok Neksu same Makyak Jaw .....

Dulu tetangga dekat romah tu, dimuke ade romah Ak Mimi Alfaca (waktu kami polang maren lah dakde gek), same romah Pakngah Bujang (Ayah Bang Robet), disebelah kanan Atok (sape lopak kami name e, duluk kerje di Bea Cukai) ... ekak agek engat dak ?

Dari romah Neksu, kalok kite menuju songai, sebelah kere ade batang rambutan rapiah (di foto keliatan sikit daon e), sebelah kanan duluk ade batang nangka, batang jambu berteh, batng nangka lagek, terus batang pagar, nyebrang jalan, ditepi songai ade tangga dak terlalu lebar untuk masok ke songai.
Kalok kite belok kanan ade bendungan kecik, dak berape jaoh di sebelah eler ade romah Neksu yang lame tempat kami suke maen same Pakngah Den.
Kalok belok kerek dari tangga tadi ade jerambah kampong ulu, teros, sebelah kerek sungai ade romah Mang Kecap, teros lagek sebelah kakanan ade Sorau Kampong Ulu Bang Dadang agek engat dak ?

Dadang Darmawan
Kalau rmh sebelah kiri rmh nek, adalah rmh pakngah bujang (ngah yang - maknya bang robert), kalau sebelah kanan - rmh atok hamzah (ayah mantri bustami) - dulu kerje di duane. Waktu kecik, kami suka berobat same mantri bustami. orang'e baik sekali. skrng lah dak de, dikubur'e di tangga seribu. anak'e kalok dak salah ade aak fida, bang ade, dll. lah lame jugak kami ndak ketemu.

Kalau sebelah depan rmh nek, rmh tok yak alpakah, kerje'e di kecamatan, skrng jg lah dakde.

kalau dr rmh enek, nyebrang jalan, kalau lurus ada tangga turun ke songai, kalau kite jalan sikit ke sebelah kiri ade jerambah. diseberangnya kita bs menuju masjid kampung ulu (belok kiri), dan ke kanan'e ke rmh tok cik anak dan rmh tok cik lah. dulu kami sering kesana, maen catur, berjam-jam, sampe ketiduran disane
kate mamah kami (waktu ngedongeng kami jaman SD duluu), sblm pindah ke rmh bang safri skrng. mamah tinggal di pinggir sungai samping rmh tok cik anak (atau belakang rmh tok cik lah). Kerje enek tiap hari buat kue, kue'e dijual sm enek, ke pasar sm sekolah. Kalau jualan ndak habis, berlinanglah air mate, karena dak de uang buat makan dan sekolah. jadi dimakanlah tu kue kakak beradek.

sampe skrng, kalok dadang perhatikan, kalau ada org susah, anak yatim, mamah sm udeti suke berlinang air mata. mungkin kebendiorang ingat waktu kecik dulu..

Safri Ishak
@Bang Dadang: teremak kaseh banyak atas penjelasan ekak yang sangat rinci.

Kami same aak duluk belajar ngaji same Tokcik Lah, di romah Tokcik Anak tu pagi pagi ade jual roti ye .... bau harum roti e sampai keseberang songai.

Men pengalaman jual kueh same lah rase e dengan pengalaman Mak kami, sampai di Jakarta pon Mak ngantar kue lumpang ke Sarinah.

Fida yang ekak maksod tu apekah Feeda Mufida?
Di sampeng romah Atok Hamzah ade batang cermai, kenangan kami dengan Atok Hamzah:

Selain hari Raya Idul Fitri dan Idul Adha ada lagi hari besar lain yang ramai dirayakan yaitu Imlek, di kampung kami Kelenteng bersebelahan dengan Masjid Jamik hanya dipisah oleh jalan kecil (kawasan tangga seribu).
Ada kebiasaan saling tukar kueh atau ketupat, pada malam takbiran Hari Raya Idul Fitri saya diminta oleh tetangga kami (Atok Hamzah) untuk mengantarkan ketupat dan kue kue kepada relasi dan kerabat Tionghua, biasanya oleh yang punya rumah saya diberi Angpau.

Kampungku:
http://www.tebetbarat.com/artikel/safri-mentok-bangka.htm


sunagai kampung ulu mentok
sawo tampoi mentok

buah namnam mentok
sungai ulu
sawe lile
kampung ulu
kampung ulu
kampung ulu
buah nam nam


Catatan Titien Rasimun 01-APR-2009
Teruntuk : Bang Safri

Terimakasih banyak oleh-oleh cerite perjalanan ke ranah kelahiran..
Buah nam nam itu agik ade dak geh.., rase ee asem-asem sexi gitu.., jadi ngencess..

Waktu kecik..adelah tumbuh di belakang rumah kami.. dulu di depan SD negeri 2..deket sekolah Santa maria..tuu.. , kami sering ngerandakk.. , di belakang rumah kami ade bunker...., kalo masuk ke dalem..ade kursi kayu berukir tua.. meja kecil..sisa perlengkapan minum..teko same cangkir..yang penuh sarang laba2..

Kalo maen perang2, yang ketangkep, diiket beneran di pohon pelem rosep same tali kentut-kentut. ., bau ee bener2 kayak tu lah.., kalo temen kite lopak.., sampe maghrib lah kite teriket di pohon rosep tuhh..


kenangan demi kenangan terpancing berkelebat setelah bace kesah bang Safri...
Ditunggu kesah-kesah e yang laen..

Salam Takzim Titien Rasimun

Komentar FB Lilik Sukarsono 28-January-2010
Mas Safri, Cerita Pulkamnya bener2 uasyik dan kelihatannya puas banget menikmati kerinduan kampung halaman nan jauh dimato he he he, mulai dari berkebun tamanam hias yang susah dicari ditempat laen mana, makanan yang uenak2 khas Bangka, pasar traditionalnya ikan dan sayuran seger2 banget, pantainya yang masih bersih juga pemandangan alam laennya waduh masih hijau royo-royo yach Mas, jadi berasa ikutan pulkam juga nich kalau baca ceritanya dan lihat2 photonya.
Mas yang ada pohon besar kayaknya sudah tua banget trus ada buahnya nempel dipohon itu namanya buah apa si Mas keren banget kayaknya saya blm pernah lihat sebelumnya.

Safri Ishak
Lilik, terima kasih banyak atas apresiasinya, saya jadi tambah semangat belajar menulis cerita .... he he.
Saya waktu itu sudah hampir 45 tahun gak pulkam, sehingga sangat antusias sekali ada kesempatan polang kampong.

Yang Lilik tanyakan itu namanya buah Nam nam, ukuran dan bentuk buahnya mirip kue pastel, kalau sudah masak rasanya manis manis asem .... enak .... insya allah akan saya tambahkan keterangan di blog saya.


Dari kampong ulu, lewat tebing salam, simpang tiga, belok kiri menuju arah tanjung kelian, disebelah kanan jalan ada gedung bekas SR 3, dulu saya sekolah disitu mulai kelas tiga sampai lulus kelas enam. Sekarang kondisi bangunannya sudah uzur dan digunakan untuk kantor Badan Narkotika Kabupaten Bangka Barat, rencananya akan dibangun gedung baru.

ex bangunan SR 3
ex bangunan SR 3
ex bangunan SR 3
ex bangunan SR 3

Dari SR 3, jalan terus, ketemu simpang empat belok kiri, ketemu lagi simpang empat belok kanan dan pas di hook sebelah kiri jalan, rumah adik kami Erman. Dulu lokasi ini merupakan kebun dan sekarang sudah ada rumah dan TPA yang dibangun oleh adik kami. Masih ada sisa tanaman dulu yaitu pohon manggis yang tumbuh dekat rumah. Disini kami ngobrol dan disuguhi macam macam kueh, istri adik kami Nani ahli membuat kueh, roti, makanan khas Mentok dan merias penganten.


rumah erman
rumah erman
rumah erman
rumah erman
rumah erman

Selesai ngobrol, kami melanjutkan perjalanan menuju Tanjung Kelian, dalam perjalanan kami melewati kebun adik kami Erman, dikebun itu tumbuh buah lake, buahnya bulat sebesar jempol tangan, warna hijau, bisa dipakai untuk peluru ketapel. Tidak jauh dari kebun Erman kelihatan bekas kebun Atok Tanjung, sayangnya tidak kelihatan lagi pohon rambutan dan tanaman buah lainnya yang dulu banyak tumbuh disitu. Sebelum sampai ke Tanjung Kelian kami singgah dulu di Pantai Batu Rakit dan Pelabuhan Ferry Tanjung Kalian Muntok - Tanjung Api Api Palembang. Dengan dibukanya pelabuhan ferry ini masa tempuh, jarak tempuh dan tonase barang yang diangkut jadi meningkat.

pohon buah lake
ladang
batang melake
pantai tj kelian
pantai tj kelian
pelabuhan ferry
pelabuhan ferry
pelabuhan ferry
pal batu tj kelian

TANJUNG KELIAN OLD LIGHTHOUSE
The old lighthouse was built in 1826. It is located about 9 km of Muntok district. In the surrounding area we still can find wrecks of Dutch and British ships, which were torpedoed by Japanese warships during the Second World War, on 16 February 1942. Take our time to climb up 199 steps to reach the top of the lighthouse and enjoy the spectacular view from the height of approximately 60 M above sea level. We can see the whole beaches in Muntok. (source)


Tanjung Kelian selayang pandang.


tj kelian
tj kelian
tj kelian
tj kelian
tj kelian

tj kelian
tj kelian
tj kelian
tj kelian
tj kelian

Catatan Mufida Salim 01-APR-2009 To: Pak Sapri
Assalammualaikum. ..
pe kabar pak? fida baru bace cerite Polang Kampong , pertame bace e kemaren sore, tp karene lah nak polang kerje jd bace e dak serius. Pas pagi ni sampai tempat kerje langsung buka age, serase nemu harte karun rase e... bedebar2 bace e , kepengen nanges adelah,,, sebab kangen kampong,,, pas bace rase e kite ikut juga dalam cerite pak Sapri ni... .Dak sabar bace kalimat per kalimat sampai paham benar cerite tu. ape agek pas liat gambar Tanjong Kelian,, weeew rase e pengen pesan tiket polang....
Salut buat Pak Sapri , cerite e TOP BGT..
ditunggu cerite2 yang buat ati ni bedebar2 rase e...
Wass,
Feeda



Dari Tanjung Kelian kami menuju Tanjung Ular lewat Batu Balai, tanjung ular diproyeksikan akan menjadi daerah industri dan penampungan batu bara, didekat tanjung ular kami melihat penduduk tempatan memelihara ayam Merawang yang konon merupakan keturunan ayam dari negeri Cina.

Batu Balai Muntok
Batu Balai Muntok
Tanjung Ular Muntok
Ayam Merawang Muntok
batu balai
batu balai
tanjung ular
ayam merawang

Otak otak Petak 15
Dari Tanjung Ular balik lagi ke Mentok untuk makan siang di Petak 15, makanan pembukaan otak-otak, rasanya mantap, adik kami Piyai dan Cita pesan nasi goreng, istri kami pesan kue tiaw, anak kami Winry pesan nasi capcai, saya pesan sup tahu kok. Nggak sempat ngobrol karena capek atau karena asik menyantap makanan yang memang rasanya pas di lidah dan pas di perut :)
Serta nggak sempat ngambil photo.
Otak Otak Petak - 15, Jl. Yos Sudarso Petak 15 No. 37, Telp (0716) 21041
Alamat di Jakarta BSD 0813 7303 9643 (Mi Fong)

Selesai makan siang singggah kerumah Pak We Mat dan We Mok kakak mak kami di Kampong Telok Rubiah, usia Pak We 92 tahun dan Mak We 81 tahun, Alhamdulillah mereka dalam keadaan sehat.
Dari sana kami balik lagi ke rumah kontrakan adik kami untuk shalat dan istirahat sejenak, kami sempat lihat lokasi yang rencananya akan dibangun rumah adik kami, disebelah belakang lokasi tersebut tanahnya agak tinggi dan banyak batu besar kata orang sana batu gunung, antik. Ada yang jualan pempek udang lewat, beli, dicoba, rupanya rasanya enak, baru tahu saya :)

batu gunung

empek empek udang
rumah noviar
rumah noviar
rumah noviar
rumah noviar
pempek udang

Setelah istrirahat sejenak kami melanjutkan perjalanan kami ke Gunung Menumbing, di kaki gunung terdapat sungai yang merupakan hulu sungai yang mengalir di kota Mentok, diantaranya sungai babi, aek poteh, aek kemang, sungai sekip, sungai arang arang dan sungai kampung ulu.

Catatan From: Herman Harun Sent: Friday, April 24, 2009 4:06:41 PM
Subject: Re: Name Sungai same Udang Lanji Lanji Re: [Mentok-Bangka] thanks

saye tambah ye om safri
~sungai babi
~aek poteh(sungai poteh)
~aek kemang(sungai kemang)
~sungai sekep/sekip


Catatan From: Bang Long arrazi fachrudin Sent: Monday, April 27, 2009 2:49:33 PM
Subject: Re: Name Sungai same Udang Lanji Lanji Re: [Mentok-Bangka] thanks

Bang, ni tambahan name2 songai:
- Songai Babi (di kaki gunung menumbing)
- Songai Ciulong/Cinglong (di belakang pasanggerahan : tempat manah udang same nyarek buah karet ontok pangkak)
- Songai Kecik ( si arong kampong selet Jl. Kejaksaan : banyak leguk udang ; tempat manah udang)
- Songai Kampong Baru (sebelom batu ampar ; tempat MCK, manah udang, buat raket dari boloh)
- Songai mentok asin (kalo dari kp. tanjong lewat pantai sebelom tj kalian ; konon ade buaya putih)
- Songai Paet (di daerah peltim ; pantai paet peltim ; dulu tempat nyelundup temah)
- Songai Daeng (tapi dakde aek songai dakde polak orang makasar)
:)

Songai aek poteh tu duluk tempat orang nyuci sepeda, motor bahkan mobil karena antara bibir jalan same bibir songai kadang2 suke ketemu (maksod e agak landai).

Dahulu kala semue songai2 dimentok tu aek e beniiing benar, keliat ekan yg agek berenang, keliat dasar songai...
Tapi kinii.....semua telah berubah...menjadi coklat (kayak kopi susu) semate mate hanye karne DUIT (mentok bace duet)

disitu ade duit
disitu ade keberingasan
disitu ade keganasan
disitu ade kekuatan
disitu ade kekuasaan
disitu ade duit, duit dan duit
disitu ade rezeki sebagian orang...

tapi ....
disitu dakde pemerhati lingkungan
disitu dakde kepedulian lingkungan
disitu dakde kepuasan.... ..
disitu dakde rase syukur.....
disitu dakde yang lemah.....
disitu dakde warisan..... ....


Jalan menuju puncak Menumbing sempit, berliku-liku dan terjal, sebelum memasuki kawasan tersebut ada gardu jaga dan ada petugas yang jaga, kami lapor dan bertanya apakah ada mobil yang turun dari puncak, kebetulan tidak ada jadi kami dapat melanjutkan perjalanan. Kondisi jalan bagus, diaspal, hutan dikiri kanan jalan masih asri dan belum tersentuh tangan jahil manusia. seperti umumnya hutan tropis, kelembaban tinggi, apalagi watu itu hujan rintik-rintik, sekali sekali kelihatan tupai, burung dan monyet melintas.

Sampai dipuncak ada penginapan dan restoran, sayangnya sedang musim sepi pengunjung, dari puncak menumbing terlihat panorama kota Mentok, terutama pantainya, tanjung kelian, kota tua Mentok dan pemukiman dan perkantoran baru kabupaten Bangka Barat. Di dalam bangunan utama banyak terlihat photo dan barang barang peninggalan Bung Karno dan para pemimpin lainnya, dan salah satu photo yang dipajang adalah photo Pokme Norma adik ayah kami, surprise, sesuatu yang tidak kami sangka sangka.

Kawsan ini mempunyai nilai historis bagi bangsa Indonesia dan lokasinyapun mendukung untuk objek pariwista, mudah mudahan Gunung Menumbing menjadi salah satu prioritas pemda kabupaten bangka barat untuk dipelihara dan dikembangkan.

Jaman Sriwijaya dulu bukit ini dijadikan checkpoint pelaut-pelaut yang berlayar di Selat Bangka. Waktu jaman Belanda, peran bukit ini diganti sama mercusuar di Tanjungkelian trus BTW (perusahaan timah Belanda di Bangka) membangun tempat peristirahatan di sana. Jaman Kemerdekaan, tempat ini pernah dijadikan tempat pembuangan Bung Karno. (source)

MOUNT MENUMBUNG GUEST HOUSE
Mount Menumbung (355 meters) a rather high hill in the neighborhood of Mentok (North West Banka) stands as a memorial to the history of the Indonesian nation. It was built in 1932 during the DUTCH occupation period by Bangka Tin Winning Bedrijf (BTW) as a V.I.P. Guest House on the top of Mount Menumbung, is about 500 M above sea level.
Our former President Soekarno and the Vice President Moh. Hatta stayed in the guesthouse during their exile in 1949. Foreign missions came there for negotiating with our former President; the plane from UNCI (United Nations Commission for Indonesia) flew back and forth from Jakarta to Bangka Island during that period. This place is also called as Wisma Ranggam. The room, which was used, by the late President as well as his car is still can be seen in the building. Many Indonesians still like to visit this place of pilgrimage and see the well-kept personal belongings of the two former leaders, which are still in the compound. (source)


Gunung Menumbing selayang pandang.

Batu Balai Muntok
Batu Balai Muntok
Tanjung Ular Muntok
Ayam Merawang Muntok
menumbing
menumbing
menumbing
menumbing
Batu Balai Muntok
Batu Balai Muntok
Tanjung Ular Muntok
Tanjung Ular Muntok
menumbing
menumbing
menumbing
menumbing


Dari Gunung Menumbing kami balik lagi ke rumah, istirahat, sholat, kemudian singgah di rumah Nek Su adik alm. nenek kami, dari rumah Nek Su langsung balik ke rumah adik kami Noviar di Pangkal Pinang.
Sampai di Pangkal Pinang istirahat sebentar, buat rencana untuk keesokan harinya yaitu sarapan, ke pasar ikan pembangunan, beli terasi bangka, udang kering, lalu ke Sungai Liat dan Belinyu.

Bangun pagi tanggal 08 Maret 2009, shalat subuh, sarapan ringan karena rencananya mau makan bubur ayam, sayangnya sampai ditempat jual bubur ayam, kedai tutup, rupanya komplek disekitar kedai disterilkan karena ada pejabat yang bermalam di komplek tersebut.

Kami melanjutkan perjalanan menuju Pasar Ikan Pembangunan Pangkal Pinang, rencananya sih mau lihat lihat kegiatan di pasar tersebut.

ikan ciu, kacang2, udang
kerang, lokan, sengkor, kerapu
jahan, talang, hiu, kakap
sembilang, sengkor, sarden
tenggiri, daging hiu totol totol
ikan jahan, campur campur
udang

siput gonggong

hiu botol

siput gonggong

ikan gabus, selar, kembung
kembung, belanak, udang kering
kacang panjang, sawi caisin
timun, terong, sawi putih
sayang anak, sayang anak
bawang merah, cabe, rawit
tales, petai, jantung pisang
kunyit, jahe, tomat sambal


Kalau tadinya hanya mau melihat lihat kegiatan dan ikan yang dijual di pasar, akhirnya istri saya tergoda juga untuk beli udang, katanya udangnya bagus, segar dan murah tidak seperti di Jakarta, beli cumi, katanya cumi bangka itu top lho di super market, beli siput gonggong, katanya langka dan rasanya khas, beli daging ikan hiu totol totol atau harmer head shark, nah yang ini saya ikut nimbrung sudah lama nggak makan ikan hiu. Saya lihat banyak ikan sengkor atau tongkol laki, di Pasar Tebet Barat Jakarta sudah jarang dan malah lima tahun terakhir ini nggak pernah saya lihat, ikan sengkor enaknya dibakar lalu dimakan pakai sambal buah bacang, hmm sedap.
Biar sempurna akhirnya istri saya dan adik kami Cita beli sayur dan pisang rejang juga, biar sempurna makan siangnya ... he he.

Dari pasar ikan dan pasar sayur, kami menyeberang ke tempat orang menjual ikan asin udang kering, terasi, rusip, calo dan lain lain, kakak dan adik kami di Jakarta titip udang kering dan terasi bangka.

cumi cumi kering

calo, rusip

teritip

kembung, belanak, udang kering
aneka terasi bangka, gula aren, asam jawa


Didekat pasar ini juga dijual barang keperluan rumah tangga seperti tudung saji, sapu sabut kelapa, sapu ijuk, bubu, tanggok dan lain lain yang merupakan hasil kerajinan bangka.Saya sempat beli sikat sabut dan sikat ijuk, sikat ijuk buat membersihkan kamar mandi dan mencuci ban mobil, sikat sabut untuk gosok kaki waktu mandi, serta beli tudung saji.

kurungan ayam

bubu

tudung saji, kembu

sapu&sikat sabut, sapu&sikat ijuk
keranjang rotan, tikar pandan, caping


Pulang dari pasar istri saya, adik kami Noviar dan Cita masak untuk makan siang.

siput gonggong rebus
tumis kangkung
hiu masak kecap
pisang rejang
siput gonggong
siput gonggong rebus
sayur tumis kangkung
ikan hiu masak kikoman + jamur
pisang rejang bangka
mencongkel daging siput gongong, rumit tapi enak


Selesai makan siang kami menuju Sungai Liat, lewat Pantai Pasir Rebo, Pantai Tanjung Pesona, Pantai Parai, terus ke Belinyu, Pelabuhan Tanjung Gudang, Pantai Romodong dan Pantai Penyusuk, terus balik lagi ke Pangkal Pinang.


Pantai Pasir Rebo selayang pandang.

Pantai Pasir Rebo
Pantai Pasir Rebo
Pantai Pasir Rebo


Pantai Pesona selayang pandang.

Pantai Pesona
Pantai Pesona
Pantai Pesona


Pantai Parai Tenggiri selayang pandang.

Pantai Parai

Pantai Parai
Pantai Pantai
Pantai Parai


Pelabuhan Tanjung Gudang, Belinyu, selayang pandang.

Belinyu
Belinyu
Belinyu


Setelah beristiahat sejenak, kami meneruskan perjalanan menuju Pantai Romodong..
Ada yang unik waktu ita memasuki area pantai, yaitu jalan masuk di buat diantara celah dua batu yang berdampingan, silahkan click disini untuk melihat gambar.

Romodong beach is located at Bukit Ketok village, Belinyu district, Bangka regency. This beach is about 77 km of Sungailiat town. In this beach, the tourists can watch the sunset, because this beach is faced to west side. The length of this beach is about 4 km; it is slope, white sandy and soft. Its water is very clear like a crystal. Enjoy the beautiful of Romodong. When it low tide, you can walk in the water until in the middle of clear sea. If we see around, we just find the boulders and white sand that spread in the beach. The winds that make the leaves wobbled greet the tourists who looking for an inspiration.

Pantai Romodong, selayang pandang.

Pantai Romodong

Pantai Romodong
Pantai Romodong
Pantai Romodong
Pantai Romodong
Pantai Romodong
Pantai Romodong
Pantai Romodong
Pantai Romodong
Pantai Romodong


Dari Pantai Romodong kami bergegas menuju Pantai Penyusuk dengan harapan masih dapat memotret pantai menjelang matahari terbenam.

Penyusuk Beach is located in Penyusuk village, Belinyu district. The location is not far from Romodong beach, but it offers different nuance than Romodong. It is natural and slope beach. It decorated with colorful of stones. Many stones that compact stand with its bigger waves than Romodong is fenced Penyusuk Beach. Romodong and Penyusuk have different beautiful, but both have great charm. This beach is visited by a lot of visitor because of its beautiful beach and its clear water.

Pantai Penyusuk, selayang pandang.

Pantai Romodong


Pulang kerumah bebenah barang bawaan.
Tanggal 09-Maret pulang ke Jakarta.
Pagi-pagi bungkus kulit kerang, siput gonggong, udang, cumi goreng, empek empek udang.
Sarapan.
Ke airport Depati Amir, kelebihan berat barang 20 kg.


Sebagian dari kisah dan Gambar di blog ini disadur ke
Anak Bangka di Hongkong
Blog Mentok

http://supardi.blog.sohu.com/143011100.html

anak Bangka di Hong Kong "Bpk Safri Yth: Selamat malam! Saya sangat tertarik pada foto-foto Bpk di Mento, Maaf saya ingin ngumong bahasa daera BK, ku n renye makai gambar Bpki"

From: Safri Ishak <safrish@yahoo.com>
To: supardi@sina.com
Subject: Gambar Mentok
Time: 2010-1-23 22:24:31
Safri "to bang supardi: silahkan men abang tekenyer nak makai gambar gambar kami ontok ditarok di blog ekak :)"
Kalok boleh tahu apa address blog abang tu.

From: "supardi@sina.com"
To: Safri Ishak <safrish@yahoo.com>
Sent: Sat, January 23, 2010 10:33:49 PM
Subject: Gambar Mentok
Bpk Safri Yb:
Address blog saya berikut ini:
http://supardi.blog.sohu.com/
Inilah sesuatu blog sepicial menceritakan tetang Indonesia, karena selama 50tahun di luar negeri, tetapi tidak bisa terhalang di lubuk hati kita sangat cinta pada tanah air, ya semua orang Tionghua kelahiran Indonesia, termasuk di Hong Hong,dan di Tiongkok atau Taiwan ada perhimpunan masyarakat Tionghua kelahiran Bangka, atau Belitung?Palembang?Medan?Kalimantan?Surabaya, hingga Jakarta,aktif memdorong memperkenalkan indonesia kepada masyarakat setempat.
Dan ini juga blog saya di China:
Supardihttp://blog.sina.com.cn/supardi
Demikian, Terima kasih!
Salam bahagia

Terjemahan http://supardi.blog.sohu.com/143011100.html dalam bahasa Inggris (Google Translater)

Safri is born in a harbor city in northern Indonesian island of Bangka Main Island (Muntok) of the indigenous people, very early on to Jakarta to make a living, now operating flower industry, and his blog is green kingdom, and often introduced plants in Indonesia.
Last year, Safri back to his long-lost hometown pepper Island, to visit the brothers and conduct nostalgic journey, love of his hometown, he has photographed a lot when I was impressed by the text of young island landscape, let me food for thought, after all, a few back to Bangka no to the Man Island, next time definitely not to miss.

I gave him a blog a message that he was pleased to restore me and asked me to the next meet in Bangka. I think this is what we in Bangka Belitung have the the relationship between the Chinese and the local indigenous reflection, integration of exchanges, or even marriage, the basis of mutual understanding and trust built up, less alienation, of course, difficult to sow discord occurred opposite emotions.

Next time I go to Jakarta, I will visit some of his garden, a good understanding of the text of Island history and natural conditions, to learn more about the Nanyang flowers of knowledge, xing XU, and he would not necessarily ven.

I will be a row several times, will Safri full of Bangka-style pictures, introduced to everyone, but also to do some shows I hope you like it, have any questions please message. Thanks!

EXIT

My HOME www.TB512.com
www.TB512.com was created as facility to learn how to develop a website, TB512property has been developed as a pilot project which consisted of advertising regarding house, shop, townhouse, apartment and land for sale etc. TB512 is a logo of Tebet Barat 5 No 12 South Jakarta, Indonesia 12810 which is the address of my home as well as my virtual office Safri Ishak telephone 021-8296762 or mobile phone 0815 1140 1617.
My BUSINESS Directory
Tebet Business Directory consists of addresses and phone numbers of favorite restaurants, traditional markets, hotels, offices, schools, super markets, malls, automotives, gardens, flowers, cakes, advertising, computers, salons, barber shops, cosmetics, banks, apartments etc.Originally it was compiled for personal purposes and then published to the internet as a gateway to search business directory and websites in Tebet and surrounding area.

Indonesian Folklore
http://indonesianfolklore.blogspot.com/
 
 
Kelingking
Folklore from Bangka Belitung
http://indonesianfolklore.blogspot.com/2008/10/kelingking.html


A long time ago in Bangka Belitung lived a husband and a wife. They were poor and they did not have any children yet. Days and nights they prayed to God. They really wanted to have a child.
“God, please give us a child, even though he is only as big as a little finger,” prayed the husband.
Their dream came true! The wife was pregnant. However they were surprised when they saw the baby. He was so small. He was as big as a little finger.
“You prayed to God to give us a child, although he is as big as a little finger right? Be thankful to God. Let’s love him. How will you name him then?” asked the wife.
“You are right. We have to be grateful. Well, I will name him Kelingking,” said the husband. Kelingking means little finger.
Time passed by and Kelingking did not grow much. His body was still physically small compared to other kids. Though he was so small, Kelingking ate like adults. He ate much food. And that made his parents really worried. They were poor and sometimes they could not eat because they had to give their food to Kelingking.
“I cannot hold it anymore. I want to put Kelingking in the jungle. Let him live there. I think he can survive,” said the father.
In the morning, Kelingking and his father went to the jungle. When they arrived, the father asked Kelingking to cut down a very big tree. When Kelingking was busy cutting down the tree, his father silently went home. The father thought that Kelingking could not cut down the big tree. The father was sure that Kelingking would be lost in the jungle. But he was wrong! In the morning Kelingking suddenly showed up in front of the house. And he brought the big tree also!
“Father, where do you want me to put this big tree?” asked Kelingking. The father was surprised. He asked Kelingking to put the tree in the backyard. Kelingking then went inside the house. As always he ate all the food and that made his father got angry. He then had another idea.
“Kelingking, let’s go to the mountain. I need a big stone from there.” Kelingking was an obedient kid. He followed his father to go to the mountain. When they arrived, his father pointed a big stone. The stone was as big as their house!
“I want you to bring that big stone to our house,” asked the father. When Kelingking was trying to bring the stone, the father immediately ran home. At night, when the father was sleeping , suddenly he heard Kelingking’s voice.“Father, I’m home. Where do you want me to put this big stone?”
This time Kelingking’s father realized his mistake. It was true that Kelingking’s body was small and he ate much food. But he was a nice kid and he had great power. With that power, they could get a job and had a lot of money. The father then apologized to Kelingking. Since then they always worked together. ***

 
Umpit and the Wild Hogs
Folklore from Bangka Belitung
http://indonesianfolklore.blogspot.com/2008/09/umpit-and-wild-hogs.html

 

A long time ago in Bangka, lived a hunter. His name was Umpit.
He was called Umpit because he always went hunting using his blowpipe. The villagers liked him very much. Umpit often hunted the wild hogs. Those animals often destroyed the villagers’ plantation. After Umpit killed the wild hogs, the villagers gave him some money.
Pak Raje was the richest man in the village. Nobody liked him. He was very stingy. He did not like to donate his money. One day he asked Umpit to hunt the wild hogs. Umpit agreed. At night he was prepared and waited at the Pak Raje’s plantation.
While he was waiting, suddenly seven wild hogs entered the plantation. Umpit prepared his blowpipe.
Then, whoosssh! One of the hogs was shot.
Amazingly, the hog disappeared.
Umpit could not find the hog anywhere.
However he found blood shed on the ground. He followed the blood trail. It went to the jungle. Finally the blood trail stopped in a big cave. Slowly he entered the cave. Then he heard a voice.
“ Who are you?”
“ My name is Umpit.
I’m looking for a wounded hog. I shot it using my blowpipe.”
“ So, it’s you! You are the man who hurt my daughter!”
Slowly a woman appeared in front of him.
“ Come, follow me,” said the woman.
She then pointed a girl. She was wounded. Her leg was bleeding.
“ She was not a real hog. We are the goddess of the jungle. I will forgive you, but you have to cure my daughter.”
Umpit was so scared. He did not know that it was not the real hog. He then took some leaves. He knew some medication because his parents taught him before.
He put the leaves on the wound. After a while, the girl was cured. The woman then gave Umpit a present. Umpit immediately went home. He ran very fast.
At home, Umpit immediately opened the present. Wow! He got jewelries, gold and diamond. Umpit sold the jewelries and now he became a rich man.
Pak Raje heard that Umpit had become a rich man. He asked Umpit how he became rich. After he knew all about it, he borrowed Umpit’s blowpipe.
He waited at his plantation, and he shot a wild hog.
He followed the blood trail and arrived at the cave. He met the woman and the injured girl. Pak Raje was asked to cure the girl. But he could not do that, and that made the woman angry. She asked all the wild hogs to attack Pak Raje.
Pak Raje ran very fast. He went to Umpit’s house. He asked Umpit to help him from the wild hogs. He agreed to help if only Pak Raje donated some of his money. Pak Raje said yes and he also promised he would be helpful to the villagers. ***

 
Putri Pinang Gading
Folklore from Bangka Belitung
http://indonesianfolklore.blogspot.com/2008/06/putri-pinang-gading.html

 

A long time ago in Belitung, there were a couple of husband and wife. The husband was a fisherman. The husbands name was Pak Inda and the wife’s name was Bu Tumina. They lived alone in their house. They did not have any children.
Pak Inda always went fishing in the morning. And in one morning as always he went to the sea. On the way there, he stumbled on a stick of bamboo.
This is dangerous. Someone may get hurt with it, said Pak Inda. He threw the bamboo to the sea. Then he continued walking. Again, he stumbled on a bamboo. “Why are there a lot of bamboos here?” asked Pak Inda to himself. He wanted to throw the bamboo to the sea. Before he did that, he looked at the bamboo carefully. I think this is the same bamboo I threw awhile ago. How can it be here again? Pak Inda was confused. He then threw the bamboo to the sea. Amazingly the bamboo kept on coming back to him. He knew that this bamboo was different from other bamboos so he brought it home. At home, Pak Inda told his wife about the bamboo. Bu Tumina suggested him to put the bamboo in a box. They put the box in their bed room. In the morning, they heard a baby crying. Pak Inda and Bu Tumina looked everywhere to find the baby. Finally they found a baby girl inside the box where they put the bamboo. However the bamboo was gone.
Pak Inda and Bu Tumina were very happy. They named the baby girl Putri Pinang Gading. Pak Inda and Bu Tumina took care of her with great love. Even though Putri Pinang Gading was their only child, they did not spoil her.
They taught her to be independent. They also taught her how to protect herself from wild animals. That was why Putri Pinang Gading grew as a great girl. One day, a giant bird attacked their village. The bird was wild. It hurt many people. Nobody dared to kill the giant bird. Putri Pinang Gading knew she had to do something. She wanted to kill the bird.
Be careful my daughter. We love you very much and we don’t want anything bad happen to you. Here, take this arrow with you. The arrow has poison and it can kill the bird. Just aim it at the bird’s heart, said Pak Inda. He knew his daughter could do that.
She was skillful with arrows. Putri Pinang Gading then went to the village. She was waiting for the bird. The villagers were scared. They asked her to be careful. Suddenly, the giant bird was flying right above her. The bird tried to attack her. Putri Pinang Gading then prepared her arrow. She aimed at the bird’s heart.
Wooosshhh! The arrow hit the bird’s heart! The bird fell on the ground and died instantly. The villagers were very happy. They thanked Putri Pinang Gading for her great action. On the ground where the giant bird fell, bamboo plants grew. The bamboos were poisonous. Later the villagers named the area as Membalong. It means poisonous bamboos. Membalong is now a district in Bangka Belitung. ***

 
WIKIPEDIA
Bangka Belitung Islands


seRumpun seBalai


Bangka-Belitung Islands is a province of Indonesia, which includes two main islands, Bangka and Belitung, and several smaller ones that lie from the east of Sumatra to the northeast of South Sumatra province. The Bangka Strait separates Sumatra and Bangka, and the Gaspar Strait separates Bangka and Belitung. The South China Sea is to the north, the Java Sea is to the south, and Borneo to the east is separated from Belitung by the Karimata Strait.

The province was formerly part of South Sumatra, but became a separate province along with Banten and Gorontalo in 2000. In 2004 its population was 1,012,655. The capital is Pangkal Pinang.

These islands have significant mining (the largest producers of tin in Indonesia). They also produce white pepper CPO etc.

Bangka Belitung also has many beaches and smaller islands which have attracted tourists from around the world. The famous beaches are Matras beach, Parai beach, Tanjung Pesona beach, Batu Bedaun beach, Remodong beach, Pasir Padi Beach, Tanjung Kelian Beach, Rebo beach, Telok Uber Beach and many others.

Administrative divisions

Bangka-Belitung is divided into six regencies (kabupaten) and 1 city (kota):

* Bangka (regency seat: Sungailiat (town))
* West Bangka (regency seat: Muntok)
* South Bangka (regency seat: Toboali)
* Central Bangka (regency seat: Koba)
* Belitung (regency seat : Tanjung Pandan)
* East Belitung (regency seat: Manggar)
* Pangkal Pinang (city)

 
 
WIKIPEDIA

Advertising
From Wikipedia, the free encyclopedia

Advertising is a form of communication that typically attempts to persuade potential customers to purchase or to consume more of a particular brand of product or service. Many advertisements are designed to generate increased consumption of those products and services through the creation and reinforcement of "brand image" and "brand loyalty". For these purposes, advertisements sometimes embed their persuasive message with factual information. Every major medium is used to deliver these messages, including television, radio, cinema, magazines, newspapers, video games, the Internet and billboards. Advertising is often placed by an advertising agency on behalf of a company or other organization.

Advertisements are seen on the seats of shopping carts, on the walls of an airport walkway, on the sides of buses,and are heard in telephone hold messages and in-store public address systems. Advertisements are often placed anywhere an audience can easily or frequently access visual, audio and printed information.

Organizations that frequently spend large sums of money on advertising that sells what is not, strictly speaking, a product or service include political parties, interest groups, religious organizations, and military recruiters. Non-profit organizations are not typical advertising clients, and may rely on free modes of persuasion, such as public service announcements.

Advertising spending has increased dramatically in recent years. In 2006, spending on advertising has been estimated at $155 billion in the United States and $385 billion worldwide, and the latter to exceed $500 billion by 2010.

While advertising can be seen as necessary for economic growth, it is not without social costs. Unsolicited Commercial Email and other forms of spam have become so prevalent as to have become a major nuisance to users of these services, as well as being a financial burden on internet service providers. Advertising is increasingly invading public spaces, such as schools, which some critics argue is a form of child exploitation.

Egyptians used papyrus to make sales messages and wall posters. Commercial messages and political campaign displays have been found in the ruins of Pompei and ancient Arabia. Lost and found advertising on papyrus was common in Ancient Greece and Ancient Rome. Wall or rock painting for commercial advertising is another manifestation of an ancient advertising form, which is present to this day in many parts of Asia, Africa, and South America. The tradition of wall painting can be traced back to Indian rock art paintings that date back to 4000 BCE.[5]

History

As the towns and cities of the Middle Ages began to grow, and the general populace was unable to read, signs that today would say cobbler, miller, tailor or blacksmith would use an image associated with their trade such as a boot, a suit, a hat, a clock, a diamond, a horse shoe, a candle or even a bag of flour. Fruits and vegetables were sold in the city square from the backs of carts and wagons and their proprietors used street callers or town criers to announce their whereabouts for the convenience of the customers.

As education became an apparent need and reading, as well printing developed, advertising expanded to include handbills. In the 17th century advertisements started to appear in weekly newspapers in England. These early print advertisements were used mainly to promote books and newspapers, which became increasingly affordable with advances in the printing press; and medicines, which were increasingly sought after as disease ravaged Europe. However, false advertising and so-called "quack" advertisements became a problem, which ushered in the regulation of advertising content.
Edo period advertising flyer from 1806 for a traditional medicine called Kinseitan

As the economy expanded during the 19th century, advertising grew alongside. In the United States, the success of this advertising format eventually led to the growth of mail-order advertising.

In June 1836, French newspaper La Presse is the first to include paid advertising in its pages, allowing it to lower its price, extend its readership and increase its profitability and the formula was soon copied by all titles. Around 1840, Volney Palmer established a predecessor to advertising agencies in Boston. Around the same time, in France, Charles-Louis Havas extended the services of his news agency, Havas to include advertisement brokerage, making it the first French group to organize. At first, agencies were brokers for advertisement space in newspapers. N. W. Ayer & Son was the first full-service agency to assume responsibility for advertising content. N.W. Ayer opened in 1869, and was located in Philadelphia.

At the turn of the century, there were few career choices for women in business; however, advertising was one of the few. Since women were responsible for most of the purchasing done in their household, advertisers and agencies recognized the value of women's insight during the creative process. In fact, the first American advertising to use a sexual sell was created by a woman – for a soap product. Although tame by today's standards, the advertisement featured a couple with the message "The skin you love to touch".
A print advertisement for the 1913 issue of the Encyclopædia Britannica

In the early 1920s, the first radio stations were established by radio equipment manufacturers and retailers who offered programs in order to sell more radios to consumers. As time passed, many non-profit organizations followed suit in setting up their own radio stations, and included: schools, clubs and civic groups. When the practice of sponsoring programs was popularised, each individual radio program was usually sponsored by a single business in exchange for a brief mention of the business' name at the beginning and end of the sponsored shows. However, radio station owners soon realised they could earn more money by selling sponsorship rights in small time allocations to multiple businesses throughout their radio station's broadcasts, rather than selling the sponsorship rights to single businesses per show.

This practice was carried over to television in the late 1940s and early 1950s. A fierce battle was fought between those seeking to commercialise the radio and people who argued that the radio spectrum should be considered a part of the commons – to be used only non-commercially and for the public good. The United Kingdom pursued a public funding model for the BBC, originally a private company, the British Broadcasting Company, but incorporated as a public body by Royal Charter in 1927. In Canada, advocates like Graham Spry were likewise able to persuade the federal government to adopt a public funding model, creating the Canadian Broadcasting Corporation. However, in the United States, the capitalist model prevailed with the passage of the Communications Act of 1934 which created the Federal Communications Commission.[8] To placate the socialists, the U.S. Congress did require commercial broadcasters to operate in the "public interest, convenience, and necessity". Public broadcasting now exists in the United States due to the 1967 Public Broadcasting Act which led to the Public Broadcasting Service and National Public Radio.

In the early 1950s, the DuMont Television Network began the modern trend of selling advertisement time to multiple sponsors. Previously, DuMont had trouble finding sponsors for many of their programs and compensated by selling smaller blocks of advertising time to several businesses. This eventually became the standard for the commercial television industry in the United States. However, it was still a common practice to have single sponsor shows, such as The United States Steel Hour. In some instances the sponsors exercised great control over the content of the show - up to and including having one's advertising agency actually writing the show. The single sponsor model is much less prevalent now, a notable exception being the Hallmark Hall of Fame.

The 1960s saw advertising transform into a modern approach in which creativity was allowed to shine, producing unexpected messages that made advertisements more tempting to consumers' eyes. The Volkswagen ad campaign—featuring such headlines as "Think Small" and "Lemon" (which were used to describe the appearance of the car)—ushered in the era of modern advertising by promoting a "position" or "unique selling proposition" designed to associate each brand with a specific idea in the reader or viewer's mind. This period of American advertising is called the Creative Revolution and its archetype was William Bernbach who helped create the revolutionary Volkswagen ads among others. Some of the most creative and long-standing American advertising dates to this period.
Public advertising on Times Square, New York City.

The late 1980s and early 1990s saw the introduction of cable television and particularly MTV. Pioneering the concept of the music video, MTV ushered in a new type of advertising: the consumer tunes in for the advertising message, rather than it being a by-product or afterthought. As cable and satellite television became increasingly prevalent, specialty channels emerged, including channels entirely devoted to advertising, such as QVC, Home Shopping Network, and ShopTV Canada.

Marketing through the Internet opened new frontiers for advertisers and contributed to the "dot-com" boom of the 1990s. Entire corporations operated solely on advertising revenue, offering everything from coupons to free Internet access. At the turn of the 21st century, a number of websites including the search engine Google, started a change in online advertising by emphasizing contextually relevant, unobtrusive ads intended to help, rather than inundate, users. This has led to a plethora of similar efforts and an increasing trend of interactive advertising.

The share of advertising spending relative to GDP has changed little across large changes in media. For example, in the U.S. in 1925, the main advertising media were newspapers, magazines, signs on streetcars, and outdoor posters. Advertising spending as a share of GDP was about 2.9 percent. By 1998, television and radio had become major advertising media. Nonetheless, advertising spending as a share of GDP was slightly lower—about 2.4 percent.

A recent advertising innovation is "guerrilla marketing", which involve unusual approaches such as staged encounters in public places, giveaways of products such as cars that are covered with brand messages, and interactive advertising where the viewer can respond to become part of the advertising message. This reflects an increasing trend of interactive and "embedded" ads, such as via product placement, having consumers vote through text messages, and various innovations utilizing social network services such as MySpace.

 

Garden
From Wikipedia, the free encyclopedia

A garden is a planned space, usually outdoors, set aside for the display, cultivation, and enjoyment of plants and other forms of nature. The garden can incorporate both natural and man-made materials. The most common form is known as a residential garden. Western gardens are almost universally based around plants. Zoos, which display wild animals in simulated natural habitats, were formerly called zoological gardens.

See traditional types of eastern gardens, such as Zen gardens, use plants such as parsley. Xeriscape gardens use local native plants that do not require irrigation or extensive use of other resources while still providing the benefits of a garden environment. Gardens may exhibit structural enhancements, sometimes called follies, including water features such as fountains, ponds (with or without fish), waterfalls or creeks, dry creek beds, statuary, arbors, trellises and more.

Some gardens are for ornamental purposes only, while some gardens also produce food crops, sometimes in separate areas, or sometimes intermixed with the ornamental plants. Food-producing gardens are distinguished from farms by their smaller scale, more labor-intensive methods, and their purpose (enjoyment of a hobby rather than produce for sale).

Gardening is the activity of growing and maintaining the garden. This work is done by an amateur or professional gardener. A gardener might also work in a non-garden setting, such as a park, a roadside embankment, or other public space. Landscape architecture is a related professional activity with landscape architects tending to specialise in design for public and corporate clients.

The term "garden" in British English refers to an enclosed area of land, usually adjoining a building. This would be referred to as a yard in American English. Flower gardens combine plants of different heights, colors, textures, and fragrances to create interest and delight the senses.

 

Flower
From Wikipedia, the free encyclopedia

A flower, also known as a bloom or blossom, is the reproductive structure found in flowering plants (plants of the division Magnoliophyta, also called angiosperms). The biological function of a flower is to mediate the union of male sperm with female ovum in order to produce seeds. The process begins with pollination, is followed by fertilization, leading to the formation and dispersal of the seeds. For the higher plants, seeds are the next generation, and serve as the primary means by which individuals of a species are dispersed across the landscape. The grouping of flowers on a plant are called the inflorescence.

In addition to serving as the reproductive organs of flowering plants, flowers have long been admired and used by humans, mainly to beautify their environment but also as a source of food.

Flower specialization and pollination

Each flower has a specific design which best encourages the transfer of its pollen. Cleistogamous flowers are self pollinated, after which, they may or may not open. Many Viola and some Salvia species are known to have these types of flowers.

Entomophilous flowers attract and use insects, bats, birds or other animals to transfer pollen from one flower to the next. Flowers commonly have glands called nectaries on their various parts that attract these animals. Some flowers have patterns, called nectar guides, that show pollinators where to look for nectar. Flowers also attract pollinators by scent and color. Still other flowers use mimicry to attract pollinators. Some species of orchids, for example, produce flowers resembling female bees in color, shape, and scent. Flowers are also specialized in shape and have an arrangement of the stamens that ensures that pollen grains are transferred to the bodies of the pollinator when it lands in search of its attractant (such as nectar, pollen, or a mate). In pursuing this attractant from many flowers of the same species, the pollinator transfers pollen to the stigmas—arranged with equally pointed precision—of all of the flowers it visits.

Anemophilous flowers use the wind to move pollen from one flower to the next, examples include the grasses, Birch trees, Ragweed and Maples. They have no need to attract pollinators and therefore tend not to be "showy" flowers. Male and female reproductive organs are generally found in separate flowers, the male flowers having a number of long filaments terminating in exposed stamens, and the female flowers having long, feather-like stigmas. Whereas the pollen of entomophilous flowers tends to be large-grained, sticky, and rich in protein (another "reward" for pollinators), anemophilous flower pollen is usually small-grained, very light, and of little nutritional value to insects.

 

Wedding Photography
From Wikipedia, the free encyclopedia

Wedding photography is a major commercial endeavor that supports the bulk of the efforts for many photography studios or independent photographers.

History

Like the technology of photography itself, the practice of wedding photography has evolved and grown since the invention of the art form in 1826 by Joseph Nicéphore Niépce. In fact, an early photograph, recorded some 14 years after the fact, may be a recreation for the camera of the 1840 wedding of Queen Victoria to Prince Albert. However in the early days of photography, most couples of more humble means did not hire a photographer to record the actual wedding itself.

Until the later half of the 19th century, most people didn’t pose for formal wedding photos during the wedding. Rather they might pose for a formal photo in their best clothes before or after a wedding. In the late 1860s, more couples started posing in their wedding clothes or sometimes hired a photographer to come to the wedding venue.

Due to the nature of the bulky equipment and lighting issues, wedding photography was largely a studio practice for most of the late 1800s. Over time, technology improved, but many couples still might only pose for a single wedding portrait. Wedding albums started becoming more commonplace towards the 1880s. By then, the photographer would start including the wedding party in the photographs. Often the wedding gifts would be laid out and recorded in the photographs as well.

In the beginning of the 20th century, color photography became available, but color photography was still too unreliable and expensive so most wedding photography was still practiced in black and white. The concept of capturing the wedding "event" came about after the Second World War. Using film roll technology and improved lighting techniques available with the invention of the compact flash bulb, often photographers would simply show up at a wedding and try to sell the photos later. Despite the initial low quality photographs that often resulted, the competition forced the studio photographers to start working on location.

Initially, professional studio photographers might bring a lot of bulky equipment, thus limiting their ability to record the entire event. Even candid photos were more often staged after the ceremony. In the 1970s the more modern approach to recording the entire wedding event started evolving into the practice as we know it today.

Technology

During the film era, photographers favored color negative film and medium-format cameras, especially by Hasselblad. Today, many more weddings are photographed with digital SLR cameras as the digital convenience provides quick detection of lighting mistakes and allows creative approaches to be reviewed immediately.

In spite of diminishing film use, some photographers continue to shoot with film as they prefer the film aesthetic, while others are of the opinion that negative film captures more information than digital technology, with less margin for exposure error. Certainly true in some cases, it should be noted that exposure latitude inherent in a camera's native RAW image format (which allows for more under- and over- exposure than JPE) varies from manufacturer to manufacturer. All forms of RAW have a degree of exposure latitude which exceeds slide film - to which digital capture is commonly compared.

Currently however, it is fair to say that many professional labs have a greater capacity to provide services in post-production for film compared with digital[citation needed], such as quickly generate adequate prints in the event of some over- or under- exposure. This should change over time, with manufacturers like Kodak announcing a commitment to further develop streamlined services in the area of professional digital lab output.

Technology has evolved with the use of remote triggers and flashes. Wedding photographers are now able to take advantage of travelling light and having the ability to use creative lighting.

 

EXIT