Safri Ishak



Version 28-JAN-2009


Mentok (Bangka)

Saya lahir di Mentok tahun 1948, Ayah saya Ishak Moesa dan Mak saya Hasnah Djalil. Kakak saya Farida dan adik-adik saya Tamrin, Erman, Mashuri, Mansur, Rosvita, Noviar dan Rosmala. Kami tinggal di Kampung Keranggan Ulu. Ayah bekerja sebagai karyawan Tambang Timah Bangka sebagai mekanik. Kakek dari pihak Mak, Djalil (Atok Tebing) berdagang ikan di pasar, setiap hari saya dan adik saya Tamrin ke pasar untuk mengambil ikan dari Kakek, kami mengambil ikan untuk lauk hari itu dan sekalian minta uang jajan sama kakek ... asyik. .... . Biasanya hal tersebut kami lakukan setelah saya dan kakak saya Farida pulang dari mengantar kue ke kedai. Mak membuat laksa dan roti goreng dan pagi pagi sekali kami mengantar ke pasar dan sore harinya kakak saya mengambil hasil jualan.

 
Bahan utama laksa, tepung beras dan tepung kanji, dibuat adonan kemudian dengan alat ditekan sehingga adonan berbentuk mie, langsung masuk kedalam air mendidih. Setelah masak dan mengapung diangkat dan dimasukkan kedalam air dingin, lalu sedikit-sedikit diletakkan ke telapak tangan, sehingga berbentuk seperti gambar disamping dan diletakkan di daun pisang. Satuan laksa ini disebut satu cap. Kuah laksa dibuat dari gilingan ikan tenggiri, dicampur dengan santan, kunyit, garam dan bumbu lainnya. Satu atau dua cap laksa, kadang-kadang ada yang bisa tiga empat cap, ditaruh di piring cembung lalu disiram kuah, ditambah garam cabe giling, lebih asik lagi kalau ditambah kemplang bangka. Laksa dipotong-potong pakai sendok, lalu dimakan ...... seluruppp ........ hmm ..... yummyyy.

Kakek dari pihak Ayah, Moesa (Atok Tanjong) tinggal di kebun kearah mercu suar Tanjung Kelian, kakek dan nenek beternak ayam dan menanam pohon buah-buahan diantaranya Rambutan dan Jeruk Bali. Menurut cerita ayah dulu kakek punya perahu untuk mengambil dagangan dari Jawa dan beliau juga punya kuda untuk menarik gerobak dan biasanya ayah yang bertindak sebagai pengendali kuda.

Tidak jauh dari rumah kami ada sungai kecil tempat kami berenang, memancing dan memanah serta menombak udang. Ada beberapa macam udang yang masih saya ingat, yang paling kecil udang lanji-lanji, kecil dan kulitnya transparant, untuk menangkapnya kami menggunakan jerat mirip lasso. Ujung jerat dibuat dari serat batang pisang, mirip benang, kemudian dibentuk seperti lingkaran dan diikat diujung lidi. Cara menangkap udang lanji-lanji adalah dengan menjerat mata-nya, bukan lehernya seperti me-lasso sapi, karena udang tidak ada lehernya .... he he.
 

Kemudian ada udang pasir yang suka membenamkan dirinya kedalam pasir, cara menangkapnya, pertama-tama pasir dasar sungai kita susur dan dorong dengan kaki, kalau kena maka undang akan keluar dan pindah ketempat lain, lalu membenamkan diri kedalam pasir lagi, nah kalau kita sudah tahu tempatnya, gampang sekali untuk menangkap udang tersebut.


Udang Satang (sumber)
 
Ada lagi udang jerangkong, mirip udang satang atau udang galah, hanya ukurannya lebih kecil, kira-kira seukuran panjang jari tengah. Cara menangkap udang jerangkong adalah dengan menggunakan panah. Anak panah biasaya kami buat dari lidi nibung alias enau dan anak panah dibuat dari jari-jari sepeda. Kami tidak menggunakan busur, tetapi hanya menggunakan karet gelang, karet gelang dilingkarkan dijari jempol dan telunjuk tangan kiri, pangkal anak panah diletakkan di ujung karet, lalu ditarik dan kalau dilepaskan maka anak panah akan meluncur menuju sasaran.

Udang yang paling besar di sungai kami adalah udang satang atau biasa disebut juga udang galah. Udang galah dapat dipancing, biasanya kami membuat pancing dari jarum pentul atau peniti yang dibentuk sebagai mata pancing, agak kecil agar bisa masuk kedalam mulut udang. Selain dipancing, udang satang bisa juga diserampang atau ditombak, serampang itu mirip trisula, cuma ukurannya lebih kecil, ayah yang membuat. Untuk menombak atau menyerampang udang satang, kita harus mengetahui dulu tempat bersembunyi udang satang berupa cerukkan dipinggir sungai. Kalau ada udang satang mula-mula yang kelihatan adalah sungutnya, kita tunggu sampai kepala udang satang keluar, diserampang lalu digoreng. Saya dan adik saya menangkap udang mulai dari bawah jembatan kampung Ulu sampai ke bawah jembatan ke arah pasar, kira-kira satu setengah kilo meter bolak balik.

Kalau ikan yang saya ingat adalah ikan kepetek, ikan tanah, ikan blokoh, ikan belanak, ikan ketang-ketang, ikan belut dan ikan sembilang. Biasanya kami memancing ikan pakai aur dan menggunakan udang sebagai umpan. Ikan kepetek badannya bening alias transparant dan kalau ketangkap bunyi ngok-ngok. Ikan tanah ada dua macam ada yang polos dan ada yang belang belang, mirip ikan mas, ikan tanah biasa kami pelihara dalam kulah atau bak mandi dirumah sebagai ikan hias, kalau mandi bisa sambil lihat ikan tanah.
Ikan ketang-ketang badannya pipih dan berbentuk mirip piring, kulitnya kuning kehitam-hitaman dan ada totol-totol hitam, mulutnya kecil dan makannya sedikit-sedikit sehingga susah untuk dipancing. Ikan sembilang mirip ikan lele, warna kulitnya lebih mulus dan merata tanpa bintik-bintik, badannya agak besar terutama kepalanya. Ikan ini paling banyak pada waktu musim hujan dan banjir, mungkin berkembang biak di anak sungai dan rawa di hutan, sehingga pada waktu banjir hanyut ke sungai.

Ikan blokoh mirip ikan malas yang pernah populer untuk menambah vitalitas, ikan ini suka bersembunyi dalam pasir dan paling gampang dipancing karena mulutnya lebar dan rakus, asal ada umpan langsung disambar. Dulu ikan blokoh ini kami buat pakan ayam, itik dan bebek manila, ikan dipotong-potong lalu disebar di tempat makan unggas tadi. Ikan belanak dan ikan belut umum terdapat dimana-mana.


Kegiatan yang paling mengasikkan adalah mandi di sungai, hampir tiap sore setelah main bola, petak umpet atau galah panjang, kami mandi disungai bersama kawan-kawan. Faforit kami bagian sungai di depan Surau Kampung Ulu, dari surau ada anak tangga, lebar sekitar sepuluhan meter, lebih kurang belasan anak tangga, kemudian ada semacam pelataran yang biasa dipakai ibu-ibu mencuci pakaian. Kalau air surut kami melompat dari pelataran tersebut kedalam sungai. Ada lubuk atau bagian sungai yang dalam menjorok kebagian bawah pelataran, kami biasa menyelam melihat ikan di lubuk tersebut, kemudian berenang, main perang-perangan air dan lain-lain.

Sambil mandi, kami juga mengumpulkan buah karet yang hanyut untuk diadu, buah kemiri untuk diadu juga, dan buah gayam, direbus, enaaaak. Di musim air pasang kami melompat atau terjun kedalam sungai dari tembok depan surau atau dari jembatan dekat rumah Mang Kecap.

buah gayam
buah gayam
buah gayam

From: Noviar Ishak. Sent: Tuesday, December 16, 2008 8:51:23 PM. Subject: Gayam's
Ass,
Bang ini ada beberapa foto batang gayam, daun dan buahnya.
Piyai ambil di Teluk Rubiah, belakang rumah Pak We; Kampung Ulu, seberang rumah kita dulu dan di rumah piyai di Pangkalpinang.
Untuk mengingat masa lalu.
Wass

Sudah lama sekali saya tidak pulang kampung, terakhir tahun 1964 bersama ayah, mudah-mudahan sungai Muntok masih seperti dulu, tapi saya tidak yakin dengan adanya pembalakan liar dan tambang timah rakyat, entah bagaimana nasib sungai tersebut. Salah satu kawan main saya sekarang menjabat sebagai bupati Bangka Barat, mudah-mudahan beliau masih ingat kondisi sungai dulu dan punya niat dan usaha untuk melestarikannya. Amiiiin.

Selain sungai di Mentok atau Muntok ada daerah pantai, pelabuhan dan laut. Dua atau tiga bulan sekali, ayah dan mak mengajak kami piknik kepantai, yang paling dekat pantai di teluk rubiah sampai pantai tanjung pait.. Kalau kesana kami melewati rumah Atok Djalil, atok atau datuk alias kakek, bersama nenek tinggal di rumah di atas tebing, ada kira-kira empat puluh anak tangga menuju kerumak atok. Nenek atau Nek Tebing biasa kami panggil, menanam sirih disekitar rumah untuk dimakan dan dijual, kalau atok kan jualan ikan di pasar.

Selain sirih, di halaman rumah Atok ada pohon pisang, pohon sukun, pohon mangga, pohon kelapa dan pohon bunga kaksiau. Paling enak makan di rumah Atok, masakan Nek Tebing sangat enak terutama gulai ikan dan gulai udang dimasak dengan irisan nenas, Atok selalu memilih bagian yang ikan yang paling gurih dan membuang tulang atau duri ikan sebelum meletakkannya ke piring kami. Kembali ke acara piknik tadi, setelah melewati rumah Atok, kami melewati rumah Pak We Mat dan Mak We Mok, mak we adalah kakak mak yang paling tua atau tue bahasa Muntok nya, jadi dipanggil Mak We.

Dulu Pak We sering ngambil air legen dari pohon enau, Mak We yang masak, kalau lagi ke Teluk Rubiah, kami suka minta air legen yang baru dimasak, enak diminum panas-panas rasanya manis, kalau sudah hampir kental kadang-kadang Mak We memasukkan ubi kayu inipun pastinya enak, dan kalau sudah masak cairan gula aren dimasukkan kedalam cetakan. Pak We dan Mak We dulu jualan gula aren, Mak We juga jualan kue ke pasar khususnya lemper.
 

Kegiatan yang biasa kami lakukan dipinggir pantai selain mandi atau main air laut diantaranya mencari remis, remis mirip lokan, atau kerang tetapi kulit luarnya rata tidak bergerigi macam kerang. Cara mencari remis, pasir dibibir pantai dikikis dengan bilah bambu atau pisau, kalau terantuk dengan remis, maka remis akan terangkat dan tinggal dipungut. Remis di rebus atau ditumis oleh Mak kami, rasanya manis dan sedap, maklum remis masih fresh dan yang paling utama hasil sendiri. Selain remis, kami mencari siput laut, direbus, cara mengeluarkan isi atau dagingnya dicungkil dengan peniti.

Kalau lagi musim, kami juga suka mengumpulkan rumput laut, dibuat urap atau yang lebih enak direbus kemudian dicampur sambal asam, enaaak buat lauk nasi, pedasss tapi tidak pernah jera, makan terus sampai habis, berkeringat dan keluar air mata, apalagi kalau minum air suam-suam kuku tambah banyak air mata keluar.

Setelah penat bermain, kumpul dan makan siang bersama, selain nasi dan lauk pauknya, kami dapat penganan yang dibuat Mak, kadang-kadang pastel, kadang-kadang roti goreng isi, kadang-kadang lepat ubi kayu dan lain lain. Siap makan siang, istirahat sebentar, lalu pulang, ayah menuntun kereta angin, mak menggendong adik yang paling kecil, yang lain mengikuti bak itik pulang kandang.
 

Mak paling pandai memasak, rasanya paling sedap sedunia, walaupun cuma sambal belacan sama sayur darat paling sedikit dua piring nasi lewat. Sayur darat adalah sayur yang paling sederhana, sayurannya potongan batang keladi atau talas, ditambah bumbu tiga, garam, cabe, belacan, kalau tidak ada batang keladi, bisa diganti dengan timun atau kacang panjang atau nangka muda, lebih asik lagi kalau ditambah udang, kuahnya jadi manis. Saya masih ingat waktu pulang ujian, sampai rumah mak sudah menyediakan tumis kecambah pakai udang kering, nikmat sekali, mak paling tahu kesukaan anak-anaknya. Saya sangat kagum sama mak, anak sembilan, tanpa pembantu rumah tangga, makan kami cukup, baju rapih, semua bisa sekolah, dan mak pantang berhutang, luar biasa. Mak sangat teliti dan disiplin, semua anaknya pasti dapat bagian, walaupun ikan atau ayam satu ekor kebagian semua, lauk tadi dibagi dulu lalu ditarok di piring masing-masing.

Selain masak mak juga pintar mengaji dan pintar menjahit, baju sekolah, baju lebaran dan baju sehari-hari tidak pernah beli, mak jahit sendiri, kalau tidak bisa pinjam mesin jahit, mak jahit pakai tangan. Mak tempat kami mengadu dan tempat kami belajar kalau ada tugas sekolah, terutama berhitung dan mengambar. Saking sibuknya mak, saya sampai tidak tahu apa yang paling disukai mak. Setelah berkeluarga dan lama merantau, saya baru tahu mak sangat suka dengan bunga mawar. Waktu itu kami sekeluarga main ke rumah mak, potret potret, sesudah dicetak, kami tanya mak, photo mana yang mau mak perbesar, mak memilih photo mak yang ada latar belakang bunga mawar. Rupanya sejak gadis mak paling suka menanam bunga mawar.

Ayah adalah idola kami, hampir semua pekerjaan dapat dilakukan ayah dengan baik, tukang kayu, tukang batu, montir, bubut, listrik, buat peralatan dapur seperti panci almunium, merajut jala dan pukat, berkebun, mencangkok, okulasi dan sambung tanaman seperti rambutan, petai, memancing, menjala dan memukat ikan, menjerat dan menggetah burung, memelihara ayam dan itik, membuat mesin tetas, dan hobby main bola diposisi center back. Sayang saya tidak mampu menyerap skill ayah, adik saya Tamrin yang punya multi talenta macam ayah.
Di Kampung Ayah dipanggil Bang Ak Tunggul Serok, tunggul itu pangkal pohon, serok sejenis kayu yang sangat keras dan tunggulnya sangat susah untuk dibongkar. Ayah dapat panggilan tersebut karena bermain di posisi back dan terkenal sebagai pemain bertahan yang susah dilewati oleh pemain lawan. Pernah suatu hari Ayah sedang bermain bola, adik kami Mashuri step alias kejang-kejang, saya sama kakak berlari kelapangan bola, begitu mendengar kabar adik sakit, Ayah lagsung keluar lapangan dan berlari ke rumah meninggalkan permainan bola dan kami berdua, karena tentunya lari kami tidaklah secepat Ayah berlari. Alhamdulillah walaupun suka step adik kami Mashuri selesai mengikuti pendidikan dan berkarir di TNI Angkatan Laut.

Suatu kali saya diajak ayah mancing ikan kelaut, habis magrib kami berangkat kepantai, lalu naik sampan, sampan ayah sangat istimewa dibuat dari bekas sekoci kapal terbang jepang, dari bahan almunium. Sampan didayung ketengah laut, jangkar dilepas, lalu lentera dihidupkan, ikan-ikan kecil menghampiri sinar lampu, cumi-cumi naik mengejar ikan kecil, cumi-cumi ditangkol sama ayah. Tangkol itu mirip jaringan untuk menangkap ikan gurame atau ikan mas dikolam, ada bagian lingkaran yang diberi jaring dan ada bagian gagangnya, ayah membuat tangkol sendiri termasuk merajut jaringnya. Cumi-cumi sebagian dibuat umpan untuk memancing ikan dan sebagian lagi dibawa pulang, digoreng pakai asam garam, paling enak kalau cumi ada telornya.
 

Malam itu kami mancing semalaman, selesai mancing sambil menangkol cumi-cumi, kembali kedarat, ayah turun duluan dan menambat sampan, waktu saya mau turun, kaki tidak bisa digerakkan, rupanya terlalu lama duduk bersila disampan sehingga kaki jadi kesemutan dan kaku, ayah senyum senyum saja, baru tahu saya, saya kirain gampang saja mancing ikan ........ he he. Sejak itu kalau saya makan ikan tidak pernah bersisa, sampai tulang dan sirip ikan dipatahkan dan di-isap-isap.

Ya Allah sayangilah ayah dan mak kami melebihi kasih sayang mereka kepada kami. Amin Ya Rabbalalamin.

 
Selain belajar disekolah saya merasa banyak sekali waktu untuk bermain, nanti saya bahas apa saja yang biasa kami lakukan. Saya sekolah taman kanak-kanak di Kampung Tanjung, masuk Sekolah Rakyat di SR 1 dekat kantor TTB Tambang Timah Bangka, kemudian kelas 3, kami, saya dan kakak saya Farida, pindah ke SR 3 di kampung baru, tepi jalan menuju kearah Tanjung Kelian. Saya masih ingat waktu pindah, kami ramai-ramai jalan kaki dari SR 1 ke SR 3 melalui jalan kampung, anak laki umumnya sambil lari.

Tidak jauh dari SR 3, dijalan setapak, saya menginjak beling, waktu itu sepatu dijinjing biar larinya lebih enak, lukanya cukup dalam dan banyak darah yang keluar. Kebetulan rumah moyang dekat sekolah, moyang satu tingkat diatas kakek, moyang dukun urut, saya dibawa kerumah moyang, dibacakan jampi-jampi lalu luka saya disembur, Alhamdulillah darah berhenti dan tidak pernah dibawa ke rumah sakit dengan berjalannya waktu sembuh.

Di sekolah yang baru, Pak Guru mengatur tempat duduk kami dua orang satu bangku, entah mengapa saya paling terakhir dipanggil, barangkali nama saya dimulai dengan huruf S, kawan-kawan sudah dapat tempat duduk dan tinggal satu bangku yang kosong dan tinggal saya sama satu murid perempuan. Maka saya dan kalau tidak salah nama kawan saya itu Nurbaity harus duduk satu bangku. Harusnya saya bersyukur, tapi pada waktu itu tidak lazim murid laki-laki duduk sebangku sama anak perempuan, malu na itu. Duduknyapun saling membelakangi dia menghadap kekanan dan saya menghadap kekiri, mana pula mau saling pandang, melirikpun awak tak berani. Pada kesempatan ini saya minta maaf kepada kawan saya, karena lama sekali saya baru berani menegur atau menyapa kawan sebangku saya. Maaf ya Nurbaity.

Waktu itu beban pelajaran disekolah sangat ringan dibandingkan dengan jaman sekarang, kami hanya belajar bahasa (menulis, membaca dan mengarang), berhitung, kesenian (menggambar, menyanyi) dan belajar agama. Nilai ujian hanya berisi nilai Bahasa Indonesia, Berhitung dan Agama.
Pelajaran favorit saya menggambar, bukan karena saya pandai menggambar tetapi karena guru saya yang pandai menggambar, saya paling ngeri sama pelajaran menyanyi, kalau menyanyi selalu dibalik papan tulis. Papan tulis jaman dulu berwarna hitam dan ada kakinya, ada jarak antara dinding kelas dengan papan tulis, jadi kita bisa berdiri dibelakang papan tulis, sampai sekarang saya masih trauma kalau diminta untuk menyanyi ...... he he.

Peristiwa lain yang berkesan di sekolah adalah ketika kami sudah di kelas enam, guru gambar kami, saya paling susah mengingat nama, selalu melatih dan memberikan tugas kepada kami untuk menggambar bentuk dan bayangan, misalnya lampu tempel, gelas, botol, teko, panci, belanga dan lain lain. Rupanya beliau ditunjuk sebagai ketua dan koordinator perlombaan menggambar seluruh SR di Muntok, sekolah negeri dan sekolah swasta. Materi yang diperlombakan salah satunya adalah menggambar bentuk, entah karena sudah terbiasa, alah bisa karena biasa, entah karena nasib baik, saya sebagai salah satu wakil SR 3 mendapat peringkat pertama,

Alhamdulillah. Lulus SR saya masuk SMP Negeri satu-satunya di Muntok, naik kelas dua, kami ikut ayah dan mak merantau ke Jakarta.

Kembali kisah tentang banyaknya waktu luang untuk bermain dan sekarang baru saya sadari dengan bermain banyak waktu untuk belajar langsung dari alam dan lingkungan disekitar kita, sehingga banyak sekali tindakan yang saya lakukan dalam pekerjaan maupun hidup berdasarkan pengalaman saya alami waktu bermain.
Dulu di kampung kami kecuali main sepak bola, bermain ada musimnya, musim layangan, musim main karet gelang, musim gasing, musim kelereng, musim adu kemiri, musim galah panjang, musim meriam, cari beling dan sebagainya.
Layangan atau waw, kami buat bersama ayah, bentuk ular, kepala atau bagian utama layangan berbentuk segi lima, lalu ekornya seperti ekor ular berwarna-warni dari kertas minyak, yang paling asik mainnya dipinggir pantai, banyak angin sehingga ekor layangan berlenggok-lenggok bak ular.

 
Main karet gelang paling tidak ada tiga macam yang biasa kami lakukan. Pertama, karet gelang masing-masing peserta ditumpuk di ujung anak tangga masjid yang paling bawah, sebelum dimulai kami sudah menyiapkan karet gelang yang sudah disambung-sambung sebagai alat tembakan.

Lalu peserta diundi, yang mendapat urutan pertama berdiri diujung lain anak tangga dan menembak karet yang sudah ditumpuk tadi, kalau karet jatuh dari anak tangga maka karet yang jatuh menjadi miliknya. Kalau masih ada karet yang belum jatuh, maka peserta berikutnya mendapat giliran, begitu seterusnya sampai karet jatuh semua. Permainan karet yang kedua, karet peserta disebar, kemudian kira-kira dua atau tiga meter dari karet tadi dibuat garis batas untuk melempar karet gelang gacoan, karet gelang yang disebar yang masuk atau bersinggungan dengan karet gacoan menjadi milik peserta yang melempar.

Karet gacoan harus dipilih yang tebal agar mudah diarahkan dan yang besar lingkarannya agar banyak karet yang masuk, supaya lebih berat dan besar karet gacoan direndam dalam minyak tanah .... he he. Yang ketiga, karet peserta dikumpulkan, peserta diundi, yang mendapat kesempatan melemparkan karet keatas lalu harus ditangkap dengan jari telunjuk saja, yang masuk jari telunjuk menjadi miliknya, sampai sekarang saya belum tahu rahasia membuat jari telunjuk menjadi panjang dan runcing ...... hmm.
 

 
Kelereng atau stal ada yang dari beling warna warni, ada yang dari besi biasanya dapat dari bengkel bekas laher, berat dan mengkilap, dan ada yang dari batu. Saya suka yang dari batu, gratis, mencarinya di pinggir pantai, batu-batu yang didorong dan ditarik oleh gelombang lama kelamaan menjadi bulat, jenis batu dan warnanya bermacam-macam, licin dan mengkilap.

Gasing terbuat dari kayu dan bentuknya mirip jantung pisang, dibagian tangkainya disisakan sedikit untuk melilitkan tali rami, tali dililitkan terus sampai menutupi bagian atas gasing, lalu gasing dibanting, teknik bantingan harus benar agar gasing berputar. Gasing diadu yang paling lama berputarnya atau benar benar diadu gasingnya, peserta pertama melempar gasing, beserta kedua harus membidik dan melempar gasing yang sedang berputar tadi, kadangkala gasing pertama bisa pecah atau paling sedikit gompal.

gasing
gasing
gasing
Oleh-oleh Gasing dari Piyai yang dibawa kakak Farida waktu pulang ke Muntok December 2008

Waktu masih kecil dulu kami membuat gasing dari kayu pelawan, ditakik pakai parang, kemudian dihaluskan dengan kulit ikan pari kering. Kayu pelawan termasuk kayu yang keras dan berserat halus, cocok untuk bahan membuat gasing, kalau sudah di haluskan menjadi licin dan mengkilap sehingga tidak perlu di fernis, agar lebih kuat gasing yang sudah jadi dapat direndam di air kapur dan warnanya yang tadinya coklat berubah menjadi hitam
Lebih bagus lagi buat gasing dari kayu Mentigi, kayu mentigi banyak tumbuh dipinggir pantai, daunnya bulat kecil-kecil dan kulit batangnya agak tebal, sekarang banyak dicari untuk buat pohon bonsai.
Sekarang pengrajin gasing membuat gasing dengan menggunakan mesin bubut.

Adu buah kemiri caranya, dua buah kemiri ditumpuk lalu dipukul pakai batu, pemilik buah kemiri yang diatas yang memukulkan batu, sehingga memukulnya harus dengan perhitungan, karena pemenangnya adalah pemilik buah kemiri yagn masih utuh, kalau kedua kemiri hancur maka yang kalah adalah peserta yang memukul.

 
Ada musim ikan tempalak, mirip ikan cupang tetapi badannya jauh lebih besar, ikan tempalak juga di adu. Kami menjaring atau memancing ikan tempalak di anak sungai dekat rumah dan kadang-kadang di sumur dekat mesjid. Tempalak yang dinilai bagus adalah yang badannya berwarna mengkilap kehitaman dan sirip bercampur warna kebiruan. Ikan tempalak dipisah dalam botol dan diatara botol disekat dengan kertas karton, apabila karton diambil, maka ikan akan saling berhadapan dan mengembangkan siripnya serta mulutnya siap untuk menerkam lawan.

Sekali sekali ada pengepul ke kampung kami untuk membeli beling dan besi bekas, saya dan adik serta kawan kawan keliling kampung, ngorek ngorek beling dan besi bekas, entah mengapa walaupun hasilnya tidak sebanding dengan usaha kami, tapi kami sangat senang saat menerima uang hasil jual beling tersebut.
Kalau ada tukang obat keliling, saya juga suka ambil bagian, walupun bagian disuruh-suruh, trik yang biasa dilakukan tukang obat keliling antara lain gelas diisi air, kemudian dimasukkan cairan berwarna biru seakan akan badan kita ada kuman, kemudian tukang obat memasukkan obat jualannya kedalam gelas tadi dan sim salabim air di dalam gelas berubah warnanya menjadi merah. Jaman itu saya dan juga penonton terkagum-kagum, sesudah sekolah SMA baru saya paham mengapa air yang berwarna biru menjadi berwarna merah.

Ada juga kegiatan yang berhubungan dengan laut, misalnya musim ikan bilis, musim ikan tongkol. Musim ikan bilis atau ikan teri sangat seru, menjelang nelayan kembali dari melaut, kami ramai ramai kepinggir pantai menunggu sampai sampan merapat. Sampan penuh beisi bilis, bilis langsung dijual ditempat per sumpit (tas dari ayaman daun pandan) atau per blek kaleng minyak makan, nah waktu mengangkat bilis, banyak yang tercecer di pantai, ini bagian kami, berebut, juga sisa sisa bilis di sampan. Hasilnya digabung dengan bilis yang mak beli. Bilis dibuat empek empek, dipepes, digoreng, dimasak pedas atau hip dan dibuat pedak alias rusip.

Mula mula bilis dibilas, kemudian kepala dan isi perutya dicabut. Untuk membuat empek empek, bilis digiling, dibuat adonan dengan tepung kanji, dibentuk jadi lenjeran lalu direbus, kalau empek empek sudah mengambang berarti sudah masak. Empek empek bilis warnanya agak hitam, tapi rasanya gurih, kalau sudah agak dingin kami makan pakai kuah cuka. Ayah paling suka empek empek yang tengahnya setengah matang, biasanya mak membuat adonannya agak keras sedikit. Kalau mak buatnya banyak, empek empek diiris-iris lalu di jemur jadi kerupuk, setelah kering digoreng, rasa ikannya terasa sekali.

 
Yang unik pedak atau rusip kata wong pelembang, rusip Muntok sangat terkenal di Palembang. Ikan bilis yang sudah bersih dicampur dan diaduk dengan garam dan gula aren (seingat saya begitu, kakak saya Farida pandai membuat rusip), lalu dimasukkan mak kedalam botol, disumbat dengan gabus dan disegel pakai lilin. Membuat pedak mirip membuat tape singkong, kalau tidak bersih tidak bakalan jadi. Sekitar dua tiga minggu daging ikan mencair seperti kecap, tinggal tambah cabe rawit dan perasan limau calong, dicocol sama ikan bakar atau lalap pepaya muda rebus, hmmm mertua lewat tak nampak. Pedak dapat disimpan berbulan-bulan, pedak sering juga dimasak dulu sebelum dijadikan sambal, pedak dicampur macam-macam bumbu dapur lalu ditumis, nah pedak model ini lebih manusiawi buat yang baru sekali mencicipi rusip.

Kalau lagi musim, ikan tongkol harganya murah, dibuat dendeng agar bisa lama disimpan, daging tongkol diiris tipis, diberi garam, gula dan ketumbar, lalu dijemur, biasanya kami diminta mak untuk menjaga dendeng yang lagi dijemur takut dimakan kucing. Sebetulnya lebih enak lagi jaga jemuran potongan empek empek buat kerupuk, sambil jaga sambil makan kerupuk setengah kering, enak, pagar makan tanaman.

Kami punya kebun di kampung baru, di kebun ada pohon durian, manggis, petai, jambu air, rambai, sokak alias melinjo, pisang, cempedak, rambutan, rukam, nenas etc. Ayah membuat okulasi pohon rambutan dan pohon petai, kata adik saya Erman sebagian besar pohon di kebun masih ada sampai sekarang. Sekarang saya sadar bahwa menanam pohon adalah perbuatan mulia, kita tanam dari bibit yang masih kecil, tumbuh dan berbuah, tanpa terasa, lalu tumbuhan dinikmati beragam mahluk hidup, cacing, semut, rayap, serangga lainnya, burung, manusia ditambah lagi dengan oksigen yang dihasilkan, tempat berteduh etc. etc. Sampai Ayah meninggal dunia, sebagian pohon yang ditanam Ayah masih ada, mudah-mudahan menjadi amal jariah.

 
Musim rambutan, selain di kebun, kami juga punya pohon rambutan di halaman rumah, rambutan rapiah dan yang unik rambutan masam, buahnya banyak dalam satu tangkai, sebetulnya rasanya manis tidak masam tapi tidak ngelotok, memakannya ditelan berikut bijinya. Mak punya menu khusus di musim rambutan masam berbuah, rambutan dikupas kemudian daging rambutan berikut bijinya di gulai dengan udang atau ikan tenggiri atau ikan parang, sedaaaap, gulai terasa asam manisnya dan karena sudah dimasak daging buah rambutan dapat dipisah dari bijinya.

Nah kalau musim jambu bol lain lagi, sebelum berbuah, waktu masih bebungapun sudah asik, kuntum bunga alias bunga yang belum mekar, kami pakai buat peluru sombol. Sombol dibuat dari bambu pagar, terdiri atas dua bagian, bagian badan atau laras dari ruas bambu yang dipotong kedua ujungnya, bagian pendorong dibua dari ruas bambu yang lebih kecil dan ukurannya lebih pendek dari bagian laras.

Mula-mula kuntum bunga jambu bol dipasang dibagian bawah laras, lalu didorong sampai kebagian atas laras. Kemudian pasang lagi kuntum bunga dibagian bawah, lalu dorong kuat-kuat, akibat tekanan udara yang dimampatkan, kuntum bunga yang pertama tadi terdorong keluar sambil mengeluarkan bunyi mirip letusan. Jadi lah main perang-perangan pakai sombol. Kalau bunga sudah mekar, banyak kumbang yang datang, begitu pula burung madu, burung madu paruh dan lidahnya panjan untuk menghisap madu. Waktu itu kami sering mem-betet atau meng-katepel burung, betet gagangnya dibuat dari cabang kayu, lalu dipasang guntingan karet ban dalam sepeda, diberi batu, ditarik, dilepas dan batu meluncur menuju sasaran.

Kalau sudah berbuah, saya suka mencari buah yang bantat yaitu buah yang kerdil, tampuknya hijau dan bagian buahnya berwarna merah tua kalau sudah masak, tidak berbiji, garing dan manis rasanya, beda dengan buah jambu bol biasa, banyak air dan tidak crispy.

Lain lagi jambu kemang, batang, daun dan bunganya mirip jambu bol, tapi buahnya berbentuk botol dan lebih besar daripada jambu bol, kalau sudah masak putih warnanya. Batangnya relative lebih tinggi dan lebih besar, biasanya kami mencari buah jambu yang jatuh dari pohon, rasa buahnya asam-asam manis, dicocol pakai kecap, hmmm ba titiak air liur, ngiler dan pengen jadinya. Bisa juga dibuat rujak serut, dicampur serutan mangga, irisan nenas dan buah buni.

 
Yang lucu, kalau ingat buah rambai, rambai biasanya berbuah waktu bulan puasa, kalau sudah musim kami ke kebun memetik rambai. Kami jalan kaki ke kebun, sampai di kebun terus manjat pohon rambai, pilih-pilih buah yang masak, ngobrol dan berlomba memutuskan urat buah rambai tapi buah tidak boleh pecah. Caranya, kulit luar rambai dikupas, ambil salah satu belahan buah rambai, diputar-putar dengan ibu jari dan jari telunjuk, nanti kelihatan urat buah, urat buah dengan hati-hati dipencet dan diputuskan dengan kuku ibu jari dan jari telunjuk pula, harus hati-hati agar buah tida pecah. Kalau uratnya sudah putus, apakah buah masih utuh atau pecah, langsung masuk mulut, ditelan sama biji-bijinya. Lah kan lagi puasa, batal apa ndak ya.

Kegiatan rutin kekebun adalah mengambil daun pisang untuk alas laksa, mengambil jantung pisang buat sayur dan memetik buah nenas, kadang-kadang dimakan langsung pakai garam cabe atau dibawa pulang buat rujak atau gulai nenas pakai udang ikan tenggiri atau ikan parang.
 

Musim sokak atau melinjo merupakan musim ramai-ramai kekebun, Ayah yang manjat pohon melinjo, kemudian dengan galah buah melinjo yang sudah masak ditebak alias di pukul, kami dibawah, Mak kakak dan adik-adik, memungut buah yang jatuh. Sampai dirumah kulit buah melinjo dikupas, caranya kulit buah diiris memanjang mengelilingi buah, lalu kulit dilepas. Biji melinjo disangrai dengan pasir panas, kalau sudah masak dimasukkan kedalam pincuk daun melinjo dan dijual di bioskop Strand dekat pantai. Kadang-kadang melinjo dibuat emping, biasanya Mak membuat emping yang agak tebal, dijemur dan nantinya dibuat kolak melinjo, paling asik buat berbuka puasa.
 

Yang saya tunggu-tunggu adalah saat Mak menumis kulit buah melinjo, bawang merahnya yang banyak dan biasanya dicampur udang basah dan irisan cabe rawit, enak sekali.

 
Musim melinjo di kampung juga merupakan musim burung pergam, burung pergam mirip burung punai, tetapi ukuran badannya hampir tiga kali burung punai. Burung pergam suka sekali makan buah melinjo, buah melinjo yang masak ditelan bulat-bulat, bayangkan saja, pastinya burung tersebut relative besar. Padahal yang dimakan hanya kulit buahnya saja, karena biji melinjo akan keluar lagi bersama sisa makanan yang lain. Burung pergam yang tertangkap, biasanya digetah, dulu banyak dijual di pasar, burung pergam diberi makan nasi, nasi hangat dikepal-kepal sebesar buah melinjo lalu disuapkan kemulut burung pergam. Burung pergam akan cepat gemuk kalau diberi makan nasi.


Kemunting atau karamunting adalah tumbuhan perdu liar yang banyak tumbuh di tanah yang berpasir tetapi bukan dipinggir pantai. Disemak belukar dekat kebun sayur Ayah, banyak tumbuh pohon kemunting, kami juga suka mencari kemunting di sekitar bekas lapangan terbang peninggalan Jepang. Bunga kemunting berwarna ungu, buahnya mula-mula berwarna hijau, kemerah-merahan dan berubah berwana ungu kehitam-hitaman kalau sudah masak.

Daging buah manis dan banyak bijinya kecil-kecil. Buah kemunting yang sudah dikumpulkan dimasukkan kedalam pincuk daun simpur dan biasa dijual di pasar. Kalau lagi musim kadang-kadang Mak membuat selai kemunting, tampuk buah dibuang, daging buah disaring sehingga terpisah dari biji, ditambah air dan gula secukupnya, dimasak, setelah agak kental jadilah selai kemunting, mirip selai strawberry gitu.
Burung murbah dan punai suka buah kemunting dan punai suka bersarang dan bertelur di pohon kemunting.

Kami sering menjerat punai, Ayah yang merajut jerat, berbentuk kerucut, jerat dipasang diatas sarang punai, bagian bawah jerat dipasang benang klos kira-kira sepuluh sampai dua puluh meter menjauhi sarang. Tunggu burung punai kembali kesarang, tarik benang dan burung akan terperangkap didalam jerat.

Dikebun kami ada beberapa pokok durian, ada si Bujang, si Buluh dan si Manggis. Memang pohon diberi nama, si bujang masih muda dan baru beberapa kali berbuah, si buluh tumbuh dekat rumpun buluh alias bambu, si manggis dekat pokok manggis.

 
Kalau lagi musim durian kami keliling kebun memungut buah durian jatuh, daun kering dibawah pohon sengaja tidak dibersihkan agar durian jatuh tidak langsung kena tanah. Di kampung kami durian tidak pernah dipetik, tapi durian jatuhan, durian sudah masak dan ranum, daging buah empuk kalau dimakan terasa ada gasnya. Suatu kali saya diajak Ayah menunggu durian, lepas isya kami pergi ke kebun, kami tidur di pondok. Kata Ayah biasanya durian jatuh pagi-pagi sebelum masuk waktu subuh, apalagi kalau ada hujan rintik-rintik. Tidur di pondok walaupun sudah menyalakan api unggun, tetap saja dingin dan banyak nyamuk tapi akhirnya tertidur juga.

Ketika bangun pagi-pagi durian sudah terkumpul, rupanya sudah dipungut sama Ayah, niat mau menunggu durian jatuh, eeh jadinya hanya pindah tidur di kebun. Durian dibawa pulang pakai kereta angin, dikupas sama Ayah, lalu kami adik beradik asik makan durian. Ayah dan Mak senyum-senyum saja melihat kami sambil terus mengupas durian. Setelah punya anak, saya baru dapat merasakan enaknya mengupas durian sambil melihat anak-anak kami makan durian.

Hampir bersamaan dengan musim melinjo ada musim manggis, dikebun ada dua pohon manggis, satu didepan dekat pokok sokak dan satu lagi dibelakang dekat pohon durian. Dua-duanya rindang terutama yang didepan, umurnya sudah tua, konon kata Ayah sejak jaman moyang sudah ada.

Buah manggis terletak diujung tajuk daun waktu buah masak tidak serentak, asik juga karena memetik manggis bisa diangsur. Buah manggis muda berwarna hijau, lalu brangsur-angsur merah dan kemudian menjadi hitam, hitam hitam si buah manggis walaupun hitam isinya manis. Saya suka yang masih berwarna merah, daging buahnya masih garing dan bijinya belum sempurna, daging buahnya manis dan garing, asalkan buah dipetik langsung dan tidak jatuh. Buah manngis kalau jatuh isi buah bagian yang kena tanah akan bergetah, rasanya pahit dan kulit buah membatu, menjadi keras seperti batu. Makanya kalau memilih buah manggis, pilih buah yang mulus lalu dipenyet pelan-pelan, pilih mangis yang kulitnya lembut dan tidak membatu. Memetik buah manggis dengan cara memanjat pohonnya, kalau buah bisa dijangkau langsung dipetik, kalau jauh diujung ranting, bergantung di dahan lalu adik dibawah menjangkau dan memetik buah. Kami jarang menjolok manggis, kalaupun terpaksa, buah yang dijolok harus ditangkap, seandainya ada yang jatuh ke tanah langsung dimakan daripada membatu kan sayang.
 

Hampir sama dengan ditempat lain, buah manggis dibuat main tebak-tebakan isi manggis, kami juga suka membuat cupu dari kulit manggis. Kulit manggis diiris denan pisau lipat, irisan zikzak seperti mata geraji dari ujung ketemu ujung, bagian tampuk diangkat, maka isi buah ikut terangkat, isi buah dimakan, kulit buah dijemur sampai kering dan keras, kalau ditangkupkan akan menjadi cupu tempat menyimpan barang-barang kecil.

 
Rukam pokok perdu berduri batangnya, di kebun kami juga ada rukam, sudah langka, buah yang sudah masak dapat dimakan langsung atau dibuat rujak. Sejak saya merantau belum pernah lihat lagi pohon dan buah rukam. Pohon rukam kami termasuk rukam berbuah besar, rasanya agak sepat, asam manis, ada jenis rukam dengan buah yang lebih kecil, rasanya manis.
Berikut kutipan dari Arkian Damaris Oei: bentuk buah rukam bulat dan berwarna hijau dikala muda, kalau sudah matang berubah menjadi merah-terang sampai merah-gelap, buah rukam mungkin satu kaum dengan buah lobi-lobi. Anehnya, supaya terasa manis, kalau mau dimakan buah yang sudah masak harus digenyel-genyel dulu kalau tidak akan terasa asam.

Dikampung kami Mentok, hasil ikan laut melimpah dan jenisnya bermacam-macam, sehingga menu sehari-hari hampir selalu terbuat dari ikan, udang, rajungan, kerang, lokan, siput gong-gong, wak-wak, remis, teritip dan lain-lain. Jarang sekali makan sayur seperti sawi, kol wortel, kangkung dan bayam, paling-paling daun melinjo, nangka muda, pakis, sayur nenas dan sayur keladi. Apalagi daging sapi hanya ada pada waktu hari raya Idul Fitri itupun kalau beli, biasanya kami menyembelih ayam dan itik serati piaraan kami. Selain hari raya, menyembelih ayam kalau lagi musim ayam sakit, bagi kami musim ayam sakit ada hikmahnya juga ..... he he. Seperti lazimnya memelihara ayam, ada kandang ayam, tempat bertengger ayam tidur, tempat ayam bertelur dan sekalian tempat ayam mengeram. Itik serati tidak tidur didalam kandang tapi dibuatkan kotak dari papan dan dibuat pintu dari bilah papan untuk keluar masuk itik dan untuk mengurung itik. Itik serati kalau telurnya sering diambil akan membuat sarang dirumpun nenas dekat rumah, kadang-kadang itik lama tidak kelihatan, tahu-tahu pulang sudah bawa anak itik, untung mereka masih ingat kandangnya.

Ayah pandai membuat mesin penetas telur ayam dan telur itik, dibua dari kotak papan dan triplek, ada rak tempat meletakkan telur, ada thermostat untuk mengontrol suhu mesin penetas, kalau suhu turun maka lampu menyala untuk memanaskan udara didalam mesin penetas dan sebaliknya kalau terlalu panas maka lampu padam. Pada waktu tertentu telur dibalik pada sisi yang berbeda dan penempatan rak telur digilir yang tadinya di atas ditarok di bawah, agar telur mendapat panas secara merata. Sepuluh hari setelah telur dimasukkan kedalam mesin penetas, telur diteropong dengan lampu, telur yang ada bibitnya akan terlihat bintik merah dan ada alur darah seperti akar keluar dari bintik merah tadi, sedangkan telur yang tidak jadi akan berwarna terang dan dipisah buat dimasak. Khusus untuk telur itik, sesekali harus dilap dengan lap basah, biar kenal sama air kali ..... he he. Kalau sudah tiba waktunya menetas, anak ayam atau itik melubangi kulit telur dari dalam, subhanallah, diujung paruh anak ayam atau itik tadi ada tulang kecil mirip tanduk untuk melubangi kulit telur yang nantinya tulang tersebut akan hilang sendiri.
Setelah menetas anak ayam dan anak itik dititipkan kepada induk ayam atau itik yang sedang mengeram. Kadang-kadang kalau terpaksa anak ayam dititipkan kepada itik, induk itik bingung karena anaknya tidak mau diajak mandi, sebaliknya kalau anak itik dititipkan kepada induk ayam, si induk juga bingung melihat anaknya berenang. Walaupun demikian, barangkalai karena naluri ke-induk-an induk-induk tadi sayang kepada anak-anaknya, diberi makan, dijaga, dan waktu tidur atau cuaca dingin, anak-anaknya berlindung dibawah badan sang induk.

Di kampung kami ada rumah potong hewan, kami menyebutnya rumah jagal, lokasinya dekat muara sungai sehingga darah dan kotoran sapi yang disembelih langsung dibuang ke muara sungai. Rumah jagal hanya digunakan setahun sekali menjelang hari raya, sapi dipotong sesudah magrib agar besoknya bisa langsung dijual ke pasar tanpa perlu di es. Petang hari bersama kawan-kawan, kami ke rumah jagal, kami memanjat dan duduk diatas dinding rumah jagal menonton petugas menyembelih sapi.

 
Hari Raya merupakan hari spesial untuk kami kakak beradik, karena dibelikan baju baru, celana baru, sepatu baru, kemudian foto bersama di studio foto, pulangnya sepatu dijinjit karena kaki melepuh kena sepatu baru. Banyak makanan di rumah, kemudian berkunjung ke rumah tetangga dan sanak famili dan tentunya dapat uang hari raya. Mak masak ketupat, gulai kuning ayam dan itik, kami suka berebut minta tunggitnya. Mak buat kue rentak sagu, roti nenas, kue sepit, kue satu, kacang goreng lepas kulit dan aneka kue kering lainnya.

Daun ketupat diambil dari kebun, ketupat dianyam beramai-ramai, Mak yang mengisi beras dan kami gantian menjaga agar air rebusan ketupat tidak kering. Mak yang mengajar kami membuat ketupat, saya sempat nguping waktu Mak ngobrol sama saudaranya, dulu Mak yang mengajar Ayah menganyam ketupat, padahal sebenarnya Ayah sudah pandai, akal Ayah saja agar tangan Ayah dipegang sama Mak.


Silahkan kirim komentar, feedback dan saran, terima kasih.

Beli Makanan dan Snack Khas Bangka

source

Terasi Bangka Sangrai, Belacan, Rusip, Empek Empek

IBU FARIDA: HP 0815 969 1943 TELP (021) 781 0228
Jl Langga Raya No. 44 Rt 009 Rw 002 Lenteng Agung Jakarta Selatan 12610

Untuk pemesanan dapat menghubungi : 021-94013174 atau 0818-0699RIZZ
email ke ina3108@gmail.com
La Rizz Traditional and Modern Cakes
Di Mentok, ada beberapa kue khas turun temurun yang menjadi syarat wajib deretan kue lebaran...

Diantaranya adalah Kue Rintak Sagu dan Roti Nenas...
Cara membuatnya sangat unik, takarannya pun sulit dibuat presisi ....hihihi...karna resepnya selalu ukuran kire-kire ..eheheheheh..

Kalo sudah waktunya Mamak menanak santan dan gula untuk bikin kue ini, hmmmm.... wanginyaaa... gurihnya aroma santan dan gula, berpadu...

Karna Mamak sangat sukaaaaaaa dengan kue ini, kalo bikin buanyaaaaaaaaak sekalian... satu kaleng krupuk jadul itu...bikinnya buat sekalian dimakan di lebaran haji..hehehehe..
Biasanya ina dan adek-adek kalo masih ada kue lain, melirik pun tidak ke kue rintak sagu ini...tapi, kalo kue lain sudah mulai habis atau mulai bosan... maka, rame-rame ngemil rintak sagu yang dicelup ke teh hangat.... nikmaaat.... more


SEJARAH BANGKA www.infobangka.com
BANGKAPOScybermedia www.bangkapos.com
Gerbang Informasi Kepulauan Bangka Belitung

Jakarta (I)

Ayah dan Mak saya beserta kami anak-anak kandung beliau sebanyak delapan orang merantau ke Jakarta dari Mentok Bangka pada tahun 1961, saya anak nomor dua dan pada waktu itu umur saya 13 tahun, adik saya yang paling kecil Noviar baru berumur dua tahun. Kami berangkat dari Mentok dengan menggunakan kapal Koan Maru dengan rute dari Medan menuju Jakarta dan singgah di Tanjung Pinang dan Mentok. Karena kapal tidak bisa merapat, maka para penumpang dan barang-barang bawaan diangkut dengan tongkang dari pelabuhan ke kapal. Sampai di kapal perlu usaha extra untuk naik ke kapal, karena ombak agak besar dan tongkang terayun-ayun oleh ombak, di kapal kami dapat tempat di deck dekat haluan kapal. Waktu tempuh dari Mentok ke Jakarta sekitar 24 jam, di deck udara terasa dingin karena banyak angin apalagi pada waktu malam hari. Dalam perjalanan itulah pertama kali kami sekeluarga harus antri untuk mendapatkan makanan.
Keesokan harinya kami sampai di Jakarta dan kapal merapat di Tanjung Priok, dari sana kami menuju ke Tebet Barat, kalau tidak salah naik truk karena kami membawa perabotan rumah tangga. Ayah mengontrak rumah di Rawa Bilal, sekarang Tebet Barat 3C, walaupun pada waktu itu Tebet masih belum dianggap sebagai bagian Kota Jakarta, kata orang-orang tempat jin buang anak, tapi bagi kami sudah ramai. Jarak antara satu rumah dengan yang lain sangat rapat dan pemukiman sangat padat dibandingkan dengan di kampung kami.

Adik-adik saya sekolah di SD Tebet, saya dan kakak perempuan saya sekolah di SMP Wydiasana, Gang Bedeng, dekat Pabrik Angin Jl. Minangkabau, dari Tebet biasanya kami jalan kaki bersama kawan-kawan. Kalau pelajaran olahraga kami ke lapangan bola milik Perusahaan Kereta Api di Manggarai, dari sekolah lewat gang kesana. Ada suatu hal yang sangat berkesan pada waktu sekolah, guru matematika Pak Siregar, memberikan teka-teki, menurut beliau dengan menggunakan matematika bisa dibuktikan bahwa banyak orang yang masih hidup sebetulnya sudah pernah mati. Kami sekelas tidak bisa memecahkan teka-teki tersebut, akhirnya Pak Siregar menjelaskan setengah ditambah setengah sama dengan satu, seandainya seorang bapak tiga hari yang lalu bekerja setengah mati dan hari ini dia bekerja setengah mati lagi, berarti dia sudah satu kali mati .... he he. Waktu sekolah saya pernah dimarahi ayah gara-gara dipenghapus saya (dari karet dan warnanya putih) ada tulisan I LOVE YOU, saya sempat di-interogasi, tapi saya tetap menjawab tidak tahu siapa yang menulis, barangkali salah satu teman yang nulis buat kakak saya Farida .......... salah alamat dia ...... he he, tapi saya yang kena getahnya.

Dengan modal yang dibawa dari kampung, ayah membeli kavling dekat kontrakan lalu kami membangun rumah sendiri, ayah sebagai arsitek, insinyur, pemborong, tukang batu merangkap tukang kayu dan kami jadi kenek. Enam bulan kemudian bersamaan dengan habisnya masa kontrak, Alhamdulillah kami pindah ke rumah baru. Rumahnya unik, tembok batako tanpa di plester, kusen pintu dan jendela lengkap, tapi diruang tamu tidak ada daun pintu dan daun jendelanya, sehingga kalau duduk di ruang tamu serasa duduk diruangan full AC. Untung atap genteng sudah terpasang komplit, sehingga kami tidak kehujanan dan tidak kepanasan. Kamar mandi dan jamban jadi satu diluar rumah, malam hari, mau buang air, takut ke kamar mandi, beda dengan di kampung kamar mandi kami satu atap dengan rumah.
Mak waktu di Mentok membuat Laksa Bangka dan Roti Goreng. Nah di Tebet Mak membuat Opak Goreng, kalau sudah matang di olesin gula jawa, adik saya Tamrin yang jualan di sekolah. Kalau musim layangan kami membuat dan menjual layangan, di kampung kami menggunakan kertas minyak, rupanya di Jakarta pakai kertas roti sehingga bisa digambar, trade mark kami gambar huruf S simbol Superman.

Tahun 1962 dan 1963 merupakan tahun yang sulit, untuk mendapat beras, minyak tanah dan kadang-kadang bahan pakaian, dibagi kupon, kami beramai-ramai harus antri, malah saat itu kami sempat makan bulgur. Kalau ayam diberi makan bulgur kering bisa mati, karena bulgur banyak menghisap air, sehingga ayam kehausan, minum air, bulgur mengembang dan tembolok ayam bisa pecah. Jadi kalau mau mengkonsumsi bulgur harus direndam dulu, baru dimasak atau diberikan kepada ayam, konon di negeri asalnya bulgur buat makanan kuda. Hebatnya kalau makan bulgur perut cepat kenyang dan rasa kenyangnya bertahan lama apalagi kalau sering minum setelah makan. Bulgur juga dibuat roti sebagai pengganti gandum, dijajakan oleh tukang roti keliling, kami menamakannya roti bantal, sanga manjur buat mengganjal perut.
Kebetulan waktu itu kakak ayah, Ismail Musa, kami panggil Pak We Mail, menjenguk kami dan beliau menawarkan ayah pekerjaan sebagai mekanik di Caltex, Rumbai Pekanbaru, Riau. Ayah saya berangkat ke Pekanbaru mengikuti test dan Alhamdulillah diterima sebagai pegawai. Pak We Mail lulusan Sekolah Tehnik (Bangunan) dan tinggal di perumahan perusahaan, barangkali beliau iba melihat rumah unik kami dan menu makanan kami.

Rumbai Pekanbaru (I)

Setelah kenaikan kelas kami berangkat ke Pekanbaru naik pesawat terbang .... horeee, first time in my life, pesawat jenis Convair, jumlah tempat duduk sekitar tiga puluh dan kami bersepuluh, berarti sepertiga kapasitas tempat duduk. Kami berangkat dari Kemayoran Airport dan di Pekanbaru kami mendarat di Pelabuhan Udara Simpang Tiga, landasan pesawat masih menggunakan tanah yang dikeraskan.

Di Rumbai kami tinggal di rumah kontrakan di Kampung Bedeng, tidak jauh dari rumah ada Klinik dan Bus Station milik perusahaan. Kalau mau ke pasar di Pekanbaru kami naik Bus Panjang, kepalanya menggunakan kepala trailer dan badan bus yang ditarik mirip gerbong kereta api. Kalau terbayang Bus Panjang saya teringat sebuah gurindam yang berbunyi Bus Panjang batali kawek, Awak bujang baranak ampek. Antara Rumbai dan Pekanbaru di pisahkan oleh sungai Siak, bus berhenti didekat sungai dan kami menyeberang ke Bom Baru di Pekanbaru dengan menyeberangi jembatan Ponton. Kalau ada kapal yang mau lewat, maka beberapa tongkang yang merupakan bagian dari jembatan dibawa ke pinggir sungai, setelah kapal lewat, tongkang-tongkang tadi dikembalikan menjadi jembatan untuk kendaraan dan orang lewat. Dari Bom Baru kami ke Pasar Pusat Pekanbaru dengan menumpang oplet. Biasanya kembali dari pasar, Ayah suka bertanya mau naik oplet atau beli martabak, pastinya kami pilih beli martabak dan jalan kaki ke Bom Baru.

Di Rumbai saya dan kakak saya Farida sekolah di SMP Indrapura yang biasa disebut juga SMP Goni, konon sekolah tersebut didirikan oleh pegawai perusahaan dengan modal jualan karung (goni) bekas. Waktu kami masuk sekolah, kami merupakan angkatan pertama kelas tiga bersama sepuluh teman-teman sekelas. Karena PT Caltex Pacific Indonesia merupakan perusahaan asing, maka teman teman kami anak pegawai sangat mahir berbahasa Inggris dan kami yang belum pernah jumpa orang asing sangat ketinggalan dan paling tersiksa pada waktu mengikuti mata pelajaran tersebut. Alhamdulillah waktu ujian akhir SMP kami berdua ikut lulus. Kemudian kami melanjutkan sekolah ke SMA 1 Pekanbaru, adik saya Tamrin sekolah ST, juga di Pekanbaru dan adik-adik yang lain sekolah di SR Negri Rumbai.

Saya punya teman, rumahnya dekat SMA 1 Pekanbaru dan dia punya pohon rambutan unik, buahnya kalau masak warnanya kuning, belum pernah saya lihat rambutan seperti itu sebelumnya.

 
Dikutip dari Kampung Terempa:

Rambutan adalah buah favorit bagi penggemar buah, berbagai jenis dan rasa tersedia di Jakarta, di Terempa juga ada rambutan dari jenis aceh lebak dan aceh kuning, yang terakhir ini sudah termasuk langka karena tidak ada peremajaan bagi tanaman yang rasanya manis seger ini.

Selama di Rumbai untuk makan sehari-hari sudah mencukupi, karena pada waktu itu pegawai dan keluarga mendapat pembagian natura seperti beras, gula, sabun, minyak tanah dan lain-lain, sebagian dari natura dijual untuk membeli lauk pauk dan pakaian, kalau sayur bisa didapat disekitar rumah, daun singkong, buah nangka muda, pucuk paku, daun labu dan lain-lain. Fasilitas rumah sakit Perusahaan sangat lengkap dan adik bungsu kami Rosmala lahir di Rumah Sakit Rumbai.

Di Rumbai, mula-mula Ayah mengontrak rumah di seberang kampung Bedeng, dipisahkan oleh jalan menuju Bom Lama (pelabuhan milik Calex) dan sebatang sungai kecil. Barang-barang perabot rumah tangga dan peralatan Ayah dikirim lewat laut dan ditanggung oleh perusahaan. Sebagian dari barang barang tadi di pak dengan bambu, sehingga kami punya banyak persediaan bambu, buat layangan, aur dan busur panah. Ada kawan saya, Sucipto Soentoro, ayahnya pegawai staff dan tinggal di atas, sebutan untuk lokasi perumahan perusahaan. Kawan saya tadi suka mengajak saya main di lapangan didepan rumah-nya, di punya busur dan anak panah untuk berburu yang katanya dibeli dari Amerika, sangat bagus sekali. Karena ingin punya juga, saya dan adik membuat busur dari bambu, tidak sebagus barang impor tentunya, tapi berfungsi, sasaran kami pohon nangka yang banyak tumbuh dekat rumah. Kalau diingat sekarang, saya merasa ngeri membayangkan betapa berbahayanya mainan tersebut.

Tempat bermain kami yang lain adalah dikebun dan ladang tetangga dibelakang rumah, kadang-kadang kami bermain sampai ke hutan karet dibelakang kebun. Kami tidak merasa takut, sampai suatu kejadian mendekati Hari Raya Qurban, ada harimau masuk kampung dan menerkam anjing dikolong rumah tetangga. Sejak saat itu kami tidak pernah lagi bermain ke hutan karet, apalagi ada kejadian pengumpul getah karet diterkam harimau. Bermainnya hanya didekat rumah, diantaranya memancing di anak sungai Siak dekat rumah, dimusim hujan banyak ikan baung. Dulu ikan baung jarang dimakan dan tidak laku dijual, tetapi sekarang merupakan salah satu ikan yang paling dicari selain ikan patin, gulai santan ikan baung, pakai sambal cabai hijau, lamak banaaaa, sedap, mau? silahkan singgah ke kedai Pak Mansur di Jl. Sekolah, Rumbai.

Selang beberapa bulan kemudian, Ayah mengajak kami pindah ke Kampung Bedeng, saya tidak tahu kenapa, pokoknya kalau Ayah sama Mak pindah, pastinya ikut pindah. Sebelumnya sudah saya ceritakan, beras, gula, garam, sabun, minyak makan dan minyak tanah dapat jatah dari perusahaan dan jumlahnya lebih dari cukup untuk keperluan sehari-hari. Jadi tinggal cari lauk, Mak suka mengajak saya belanja ke Pasar Bawah Pekanbaru, utamanya beli ikan asin, belacan, bawang dan cabe. Kalau sudah punya persediaan bahan-bahan tadi, aman, ikan asin digoreng, belacan dan cabe buat sambal belacan, sayur utama nangka muda direbus, makan sampai kenyang. Saking seringnya nangka muda diambil, kadang-kadang kami kehabisan stock, sehingga suka minta sama tetangga, untungnya tetangga memaklumi keadaan kami, sembilan anak yang lagi lahap-lahapnya makan. Selain nangka muda rebus, menu yang lain yang kami cari disekitar rumah adalah sayur daun paku (pakis) merah, kalau dimasak, kuah sayur berwarna merah, daun ubi kayu, daun labu, kacang panjang dan lain-lain. Untuk makanan tambahan Mak mengolah ubi kayu jadi godok, ubi goreng, ubi rebus, lapek ubi dan penganan dari bahan ubi kayu lainnya. Ubi kayu kami beli langsung dari kebun tetangga, sekali beli satu karung isi 20 an kilo, dek seringnya beli, ubi kayu satu ladang bisa habis, sehingga kami harus pindah ke ladang yang lain.

Jakara (II)

Semester pertama SMA, Ayah mengajak pindah lagi ke Jakata, menurut orang tua saya, walaupun makan cukup tapi kalau kita terus tinggal di Rumbai akan susah melanjutkan sekolah nantinya. Tahun 1964 kami kembali ke Jakarta, kami tinggal dirumah adik ayah di Tomang Ancak (sekarang di belakang Rumah Sakit Kanker). Ayah membeli kavling di dekat situ dan membangun rumah. Waktu tinggal di Tomang saya dan kakak sekolah di SMA 11 Filial, tempatnya di lokasi Sekolah Yasporbi di komplek Bank Indonesia Pancoran, dari Tomang kami naik bus Robur ke sekolah. Kebetulan di SMA ini kami juga merupakan angkatan pertama kelas satu, karena sekolah filial tersebut baru di resmikan. Sahabat saya satu angkatan antara lain Haris Supriadi, Sujudi dan Anton Lirayana.

Tahun 1965 berkat bantuan adik ayah, Norma Moesa, kami sekeluarga pindah Kompleks Kejaksaan Agung Tebet Barat 9D, ayah bekerja di Kejaksaan Agung sebagai mekanik merangkap supir Bus Pegawai. Seingat saya waktu itu kantor Kejaksaan Agung masih di Lapangan Banteng, sehingga pagi-pagi ayah mengantar pegawai Kejaksaan Agung yang tinggal di komplek menuju Lapangan Banteng dan sore harinya balik lagi ke Tebet.

 
Mak membuat kue Lumpang (bank resep keluarga jatmiko) dan dijual di Toko Serba Ada Sarinah, super market pertama di Indonesia, dengan sistem konsinyasi. Bahan dasar kueh Lumpang adalah beras, beras digiling dengan gilingan batu, kemudian cairan beras tadi diencerkan dan ditambah gula. Ada tiga warna kueh Lumpang yang dibuat Mak, putih, coklat dan hijau, warna putih campuran gula pasir, warna coklat campuran gula jawa dan warna hijau campuran daun suji. Cairan kueh dimasukkan kedalam mangkuk kecil lalu dikukus, kalau campuran adonan kueh sempurna, maka pada waktu masak bagian tengah kueh akan cekung ke dalam seperti lumpang untuk menumbuk padi, sehinga dinamakan Kue Lumpang.

Membuat kue dilakukan secara gotong royong, ada yang menggiling beras, mecari daun suji, menumbuk daun suji, memasak, mengeluarkan kueh yang sudah masak dari mangkuk, mengantar kueh ke Sarinah, pekerjaan yang paling vital yaitu mencampur dan mengaduk bahan kue selalu dilakukan oleh mak.

Tamat SMA saya dan kakak ikut ujian tes masuk UI di Istora Senayan, kakak saya masuk Fakultas Hukum. Pada waktu pengumuman hasil tes nama saya tidak ada di daftar yang lulus ujian masuk Fakultas Teknik UI. Ketika saya beritahu Ayah sama Mak, Ayah tidak mau terima dan menyuruh saya untuk kembali ke Salemba dan melihat kembali papan pengumuman, setelah saya teliti lagi, nomor peserta saya tercantum disitu, rupanya pengumuman disusun berdasarkan jurusan, weleh weleh malu deh sama orang tua.

Ayah saya meninggal dunia waktu saya naik tingkat tiga, untuk ikut meringankan beban ibu, kakak saya Farida kerja di Perusahaan Asuransi Jiwasraya, saya sempat mengajar di SMA XI Fillial, kemudian akhir tahun 1970, paman saya Ikhyar Musa yang waktu itu kerja di IBM menawarkan saya untuk ikut kursus Fortran di kantor PU Kebayoran Baru, disamping Mesjid Agung. Setelah itu saya diajak kerja di PT Pansystem di Menteng Raya dan ikut kursus programming di IBM diantaranya RPG, Cobol, PLI dan lain-lain.

Mula-mula kami mengunakan computer di MABAK, memory nya hanya 16KB dan masih menggunakan kartu punch card untuk me-load compiler, sehingga kalau mau meng-compile program, dimasukkan dulu kartu RPG Compiler dan dibelakangnya menyusul kartu program yang akan kita compile. Kalau tidak ada error, lalu dibuat object program, kemudian program ditest, bayangin saja kalau ada kesalahan di program, berapa banyak kartu yang harus dibuang. Tahun 1972 Pansystem sudah punya mesin IBM sendiri dengan memory 32KB dan sudah menggunakan Disc Operating System, sehingga tidak perlu kartu compiler lagi karena Operating System dan Compiler sudah ada di dalam system, tetapi program dan object program masih menggunakan punch card. Customer kami pada waktu itu antara lain BKKBN, Telkom, Pertambangan, Unilever, Pusri dan lain-lain. Khusus untuk Telkom Billing System, saya mendapat assignment untuk membuat program mencetak tagihan dan pertama kali saya membuat program untuk menterjemahkan jumlah tagihan menjadi terbilang dalam huruf.

Pada Era Komputer di tahun 1970an, sebagai programmer kita menulis program dalam Computer Programming Sheet lalu disampaikan kepada Key Puncher untuk membuat source program dari punch card, salah satu key puncher tinggal di Tebet dan hampir tiap hari kami berangkat dan pulang kerja bersama. Setelah berkenalan beberapa waktu saya dan Mak melamar calon istri saya Erry Suryati Tasik, kami naik beca berdua kerumah calon mertua. Alhamdulillah semua berjalan lancar, bertunangan dan sebulan kemudian sesudah bertunangan pada tanggal 1 February 1973 kami menikah. Saya tinggal dirumah mertua, enak, pagi-pagi sarapan sudah tersedia, bawa bekal ke kantor, makan malam dirumah sudah disiapkan mami. Tanggal 13 December 1973 anak pertama kami Erwin Sagata lahir, karena kami berdua tetap bekerja maka tiap hari Erwin di rumah sama mami. Nama mami Rukmiyati, biasa dipanggil Ning Yati, Mbak Yati atau Bu De Yati. Rumah mami di jalan Melinjo V, sekarang Tebet Barat VI/J.

 

Rumbai Pekanbaru (II)

Kata orang Pekanbaru kalau sudah minum air Sungai Siak pasti akan kembali lagi. Awal tahun 1975 saya melamar kerja ke PT Clatex Pacific Indonesia, beberpa pertimbangan saya antara lain adalah ada fasilitas perumahan, sekolah lengkap sampai SMA, fasilitas olahraga, kesehatan dan fasilitas umum lainnya dan yang paling menarik adalah kelengkapan computer baik hardware, software dan application systems serta kesempatan belajar yang sangat luas. Tanggal 18 Maret saya kerja di Caltex sebagai programmer dan mendapat assignment mengerjakan dan me-maintain Payroll System.

 
Semua pegawai serta keluarga dilengkapi dengan peneng atau badge seperti gambar disamping, unik juga bentuknya mirip tutup botol, ada beberapa warna latar, diantaranya, merah, biru, hijau dan jaman ayah saya dulu ada yang wana kuning. Kita harus memperlihatkan badge kalau mau mengunakan fasilitas perusahaan misalnya, masuk kantor, rumah sakit, club house, bioskop, perpustakaan dan lai-lain. Apalagi kalau mau mengambil gaji wajib memakai badge. Waktu saya mulai bekerja sudah tidak ada lagi pembagian nature macam jaman ayah dulu, karena sudah dimasukkan kedalam komponen gaji pokok.

Pada waktu percobaan selama tiga bulan saya tinggal di DBQ atau rumah tinggal lajangan dan makan di mess hall. Sarapan, makan siang dan makan malam. Disamping me-maintain Payroll System, kegiatan rutin waktu itu antara lain belajar computer programming PLI, CICS pakai video cassette, berenang dan perbaikan gizi.

Selesai masa percobaan saya kembali ke Jakarta menjemput istri dan anak pertama kami Erwin Sagata yang waktu itu baru berumur satu setengah tahun. Dari DBQ kami pindah ke rumah tipe IV dekat Taman Kanak-Kanak Lama. Pergi dan pulang kantor ada jemputan bus panjang, kendaraan kenangan saya waktu kelas tiga SMP dan tinggal di Kampung Bedeng. Sekali waktu Mak dan Ibu Metua saya datang menjenguk ke Rumbai, beliau berdua brkata kasihan ya anak kita kayak di kebun binatang, maklum bus panjang yang biasa menjemput, jendelanya masih memakai kawat ram .... he he.

Pengalaman unik waktu belanja pertama kali ke Pasar Bawah dengan istri saya Erry, perginya bawa keranjang kosong, pulangnya bawa keranjang kosong lagi. Memang waktu itu pasar belum seramai sekarang, timun yang dijual timun darat, kulit luarnya berwarna kuning dan keras dan sayur lain sulit didapat.
Tapi lama kelamaan kami jadi biasa dan dengan bertambah baiknya sarana transportasi ke Sumbar dan Sumut maka sayur mayur, buah-buahan dan ikan semakin banyak dan mudah didapat. Malah acara ke pasar menjadi acara rekreasi di ujung minggu bersama tetangga, kami menunggu di halte bus dan ada bus antar jemput belanja.

Setahun kemudian kami pindah ke rumah tipe III di KM tiga setengah, kebetulan di depan rumah ada halte bus, sehingga banyak tetangga yang mampir sambil menungu bus kelilin atau bus belanja. Dari situ kami pindah ke rumah tipe I di daerah Tanah Merah dan terakhir pada tahun 1980 kami pindah ke rumah baru di komplek Meranti dekat American School.


 
 
 

To be continued.

Rumbai menurut pendapat anak kami Winry Marini

 
Winry's Memories of Rumbai

I lived in the beautiful place called Rumbai. I lived for 18 years. I really love this place so much. There were forest and animals lives there! The things I remember were blue sky, green grass and huge trees.

I always remember that place all of my live. It lives in my memory forever.

My dad has built some animals cages at our garden. We had a little farm. There were geese, birds, cats, chickens, etc.

I'd like to buy a horse, but I can't, because we lived in a camp. There were horses there but just for rent. Many people didn't like to live there for long time. Maybe they were bored and lonely. But it doesn't really matter for me because I lived there since I was born.

It was 1981 when the first time I felt the fresh air. When I was a kid, I had many activities, especially drawing, made stories, painting, played with my pets and so on. Every time I visited Rumbai made me happy, it felt like in a time tunnel to come to where I belong.

Since it was built by Caltex company, It grew beautifully and peaceful. I don't talk about how the company gets the oil for extra barrel. But I want to talk about it in my point of view, that creates me like what I been now.

Being lonely maybe is a big part of my life there, but it's an ordinary live. It's not so bad, because with my imaginations, I can create many things. I have friends at school, we play together. I like my pets, many things I can learn from them. I had many times at home. My mother had many friends and social activities and our house always full of guests.

I didn't like school for theory. I like practical.

It's just feeling for freedom and dreams that guide me.

more ........ rumbai.blogspot.com

Winry's famous blog, Indonesian Folklore


Jakara (III)

Tepat pada tanggal 1 Juli 2004, saya memasuki masa pensiun, kami langsung pindah ke Jakarta.

 

www.TB512.com was created as facility to learn how to develop a website, TB512property has been developed as a pilot project which consisted of advertising regarding house, shop, townhouse, apartment and land for sale etc. TB512 is a logo of Tebet Barat 5 No 12 South Jakarta, Indonesia 12810 which is the address of my home as well as my virtual office Safri Ishak telephone 021-8296762 or mobile phone 0815 1140 1617.
My BUSINESS Directory
Tebet Business Directory consists of addresses and phone numbers of favorite restaurants, traditional markets, hotels, offices, schools, super markets, malls, automotives, gardens, flowers, cakes, advertising, computers, salons, barber shops, cosmetics, banks, apartments etc.Originally it was compiled for personal purposes and then published to the internet as a gateway to search business directory and websites in Tebet and surrounding area.
 
Indonesian Folklore
http://indonesianfolklore.blogspot.com/
 
 
Kelingking
Folklore from Bangka Belitung
http://indonesianfolklore.blogspot.com/2008/10/kelingking.html


A long time ago in Bangka Belitung lived a husband and a wife. They were poor and they did not have any children yet. Days and nights they prayed to God. They really wanted to have a child.
“God, please give us a child, even though he is only as big as a little finger,” prayed the husband.
Their dream came true! The wife was pregnant. However they were surprised when they saw the baby. He was so small. He was as big as a little finger.
“You prayed to God to give us a child, although he is as big as a little finger right? Be thankful to God. Let’s love him. How will you name him then?” asked the wife.
“You are right. We have to be grateful. Well, I will name him Kelingking,” said the husband. Kelingking means little finger.
Time passed by and Kelingking did not grow much. His body was still physically small compared to other kids. Though he was so small, Kelingking ate like adults. He ate much food. And that made his parents really worried. They were poor and sometimes they could not eat because they had to give their food to Kelingking.
“I cannot hold it anymore. I want to put Kelingking in the jungle. Let him live there. I think he can survive,” said the father.
In the morning, Kelingking and his father went to the jungle. When they arrived, the father asked Kelingking to cut down a very big tree. When Kelingking was busy cutting down the tree, his father silently went home. The father thought that Kelingking could not cut down the big tree. The father was sure that Kelingking would be lost in the jungle. But he was wrong! In the morning Kelingking suddenly showed up in front of the house. And he brought the big tree also!
“Father, where do you want me to put this big tree?” asked Kelingking. The father was surprised. He asked Kelingking to put the tree in the backyard. Kelingking then went inside the house. As always he ate all the food and that made his father got angry. He then had another idea.
“Kelingking, let’s go to the mountain. I need a big stone from there.” Kelingking was an obedient kid. He followed his father to go to the mountain. When they arrived, his father pointed a big stone. The stone was as big as their house!
“I want you to bring that big stone to our house,” asked the father. When Kelingking was trying to bring the stone, the father immediately ran home. At night, when the father was sleeping , suddenly he heard Kelingking’s voice.“Father, I’m home. Where do you want me to put this big stone?”
This time Kelingking’s father realized his mistake. It was true that Kelingking’s body was small and he ate much food. But he was a nice kid and he had great power. With that power, they could get a job and had a lot of money. The father then apologized to Kelingking. Since then they always worked together. ***

 
Umpit and the Wild Hogs
Folklore from Bangka Belitung
http://indonesianfolklore.blogspot.com/2008/09/umpit-and-wild-hogs.html

 

A long time ago in Bangka, lived a hunter. His name was Umpit.
He was called Umpit because he always went hunting using his blowpipe. The villagers liked him very much. Umpit often hunted the wild hogs. Those animals often destroyed the villagers’ plantation. After Umpit killed the wild hogs, the villagers gave him some money.
Pak Raje was the richest man in the village. Nobody liked him. He was very stingy. He did not like to donate his money. One day he asked Umpit to hunt the wild hogs. Umpit agreed. At night he was prepared and waited at the Pak Raje’s plantation.
While he was waiting, suddenly seven wild hogs entered the plantation. Umpit prepared his blowpipe.
Then, whoosssh! One of the hogs was shot.
Amazingly, the hog disappeared.
Umpit could not find the hog anywhere.
However he found blood shed on the ground. He followed the blood trail. It went to the jungle. Finally the blood trail stopped in a big cave. Slowly he entered the cave. Then he heard a voice.
“ Who are you?”
“ My name is Umpit.
I’m looking for a wounded hog. I shot it using my blowpipe.”
“ So, it’s you! You are the man who hurt my daughter!”
Slowly a woman appeared in front of him.
“ Come, follow me,” said the woman.
She then pointed a girl. She was wounded. Her leg was bleeding.
“ She was not a real hog. We are the goddess of the jungle. I will forgive you, but you have to cure my daughter.”
Umpit was so scared. He did not know that it was not the real hog. He then took some leaves. He knew some medication because his parents taught him before.
He put the leaves on the wound. After a while, the girl was cured. The woman then gave Umpit a present. Umpit immediately went home. He ran very fast.
At home, Umpit immediately opened the present. Wow! He got jewelries, gold and diamond. Umpit sold the jewelries and now he became a rich man.
Pak Raje heard that Umpit had become a rich man. He asked Umpit how he became rich. After he knew all about it, he borrowed Umpit’s blowpipe.
He waited at his plantation, and he shot a wild hog.
He followed the blood trail and arrived at the cave. He met the woman and the injured girl. Pak Raje was asked to cure the girl. But he could not do that, and that made the woman angry. She asked all the wild hogs to attack Pak Raje.
Pak Raje ran very fast. He went to Umpit’s house. He asked Umpit to help him from the wild hogs. He agreed to help if only Pak Raje donated some of his money. Pak Raje said yes and he also promised he would be helpful to the villagers. ***

 
Putri Pinang Gading
Folklore from Bangka Belitung
http://indonesianfolklore.blogspot.com/2008/06/putri-pinang-gading.html

 

A long time ago in Belitung, there were a couple of husband and wife. The husband was a fisherman. The husbands name was Pak Inda and the wife’s name was Bu Tumina. They lived alone in their house. They did not have any children.
Pak Inda always went fishing in the morning. And in one morning as always he went to the sea. On the way there, he stumbled on a stick of bamboo.
This is dangerous. Someone may get hurt with it, said Pak Inda. He threw the bamboo to the sea. Then he continued walking. Again, he stumbled on a bamboo. “Why are there a lot of bamboos here?” asked Pak Inda to himself. He wanted to throw the bamboo to the sea. Before he did that, he looked at the bamboo carefully. I think this is the same bamboo I threw awhile ago. How can it be here again? Pak Inda was confused. He then threw the bamboo to the sea. Amazingly the bamboo kept on coming back to him. He knew that this bamboo was different from other bamboos so he brought it home. At home, Pak Inda told his wife about the bamboo. Bu Tumina suggested him to put the bamboo in a box. They put the box in their bed room. In the morning, they heard a baby crying. Pak Inda and Bu Tumina looked everywhere to find the baby. Finally they found a baby girl inside the box where they put the bamboo. However the bamboo was gone.
Pak Inda and Bu Tumina were very happy. They named the baby girl Putri Pinang Gading. Pak Inda and Bu Tumina took care of her with great love. Even though Putri Pinang Gading was their only child, they did not spoil her.
They taught her to be independent. They also taught her how to protect herself from wild animals. That was why Putri Pinang Gading grew as a great girl. One day, a giant bird attacked their village. The bird was wild. It hurt many people. Nobody dared to kill the giant bird. Putri Pinang Gading knew she had to do something. She wanted to kill the bird.
Be careful my daughter. We love you very much and we don’t want anything bad happen to you. Here, take this arrow with you. The arrow has poison and it can kill the bird. Just aim it at the bird’s heart, said Pak Inda. He knew his daughter could do that.
She was skillful with arrows. Putri Pinang Gading then went to the village. She was waiting for the bird. The villagers were scared. They asked her to be careful. Suddenly, the giant bird was flying right above her. The bird tried to attack her. Putri Pinang Gading then prepared her arrow. She aimed at the bird’s heart.
Wooosshhh! The arrow hit the bird’s heart! The bird fell on the ground and died instantly. The villagers were very happy. They thanked Putri Pinang Gading for her great action. On the ground where the giant bird fell, bamboo plants grew. The bamboos were poisonous. Later the villagers named the area as Membalong. It means poisonous bamboos. Membalong is now a district in Bangka Belitung. ***

 
WIKIPEDIA
Bangka Belitung Islands


seRumpun seBalai


Bangka-Belitung Islands is a province of Indonesia, which includes two main islands, Bangka and Belitung, and several smaller ones that lie from the east of Sumatra to the northeast of South Sumatra province. The Bangka Strait separates Sumatra and Bangka, and the Gaspar Strait separates Bangka and Belitung. The South China Sea is to the north, the Java Sea is to the south, and Borneo to the east is separated from Belitung by the Karimata Strait.

The province was formerly part of South Sumatra, but became a separate province along with Banten and Gorontalo in 2000. In 2004 its population was 1,012,655. The capital is Pangkal Pinang.

These islands have significant mining (the largest producers of tin in Indonesia). They also produce white pepper CPO etc.

Bangka Belitung also has many beaches and smaller islands which have attracted tourists from around the world. The famous beaches are Matras beach, Parai beach, Tanjung Pesona beach, Batu Bedaun beach, Remodong beach, Pasir Padi Beach, Tanjung Kelian Beach, Rebo beach, Telok Uber Beach and many others.

Administrative divisions

Bangka-Belitung is divided into six regencies (kabupaten) and 1 city (kota):

* Bangka (regency seat: Sungailiat (town))
* West Bangka (regency seat: Muntok)
* South Bangka (regency seat: Toboali)
* Central Bangka (regency seat: Koba)
* Belitung (regency seat : Tanjung Pandan)
* East Belitung (regency seat: Manggar)
* Pangkal Pinang (city)

 
 
 
 
 
 
EXIT