Safri Ishak |
Mentok (Bangka) Saya lahir di Mentok tahun 1948, Ayah saya Ishak Moesa dan Mak saya Hasnah Djalil. Kakak saya Farida dan adik-adik saya Tamrin, Erman, Mashuri, Mansur, Rosvita, Noviar dan Rosmala. Kami tinggal di Kampung Keranggan Ulu. Ayah bekerja sebagai karyawan Tambang Timah Bangka sebagai mekanik. Kakek dari pihak Mak, Djalil (Atok Tebing) berdagang ikan di pasar, setiap hari saya dan adik saya Tamrin ke pasar untuk mengambil ikan dari Kakek, kami mengambil ikan untuk lauk hari itu dan sekalian minta uang jajan sama kakek ... asyik. .... . Biasanya hal tersebut kami lakukan setelah saya dan kakak saya Farida pulang dari mengantar kue ke kedai. Mak membuat laksa dan roti goreng dan pagi pagi sekali kami mengantar ke pasar dan sore harinya kakak saya mengambil hasil jualan.
Kakek dari pihak Ayah, Moesa (Atok Tanjong) tinggal di kebun kearah mercu suar Tanjung Kelian, kakek dan nenek beternak ayam dan menanam pohon buah-buahan diantaranya Rambutan dan Jeruk Bali. Menurut cerita ayah dulu kakek punya perahu untuk mengambil dagangan dari Jawa dan beliau juga punya kuda untuk menarik gerobak dan biasanya ayah yang bertindak sebagai pengendali kuda.
Kemudian ada udang pasir yang suka membenamkan dirinya kedalam pasir, cara menangkapnya, pertama-tama pasir dasar sungai kita susur dan dorong dengan kaki, kalau kena maka undang akan keluar dan pindah ketempat lain, lalu membenamkan diri kedalam pasir lagi, nah kalau kita sudah tahu tempatnya, gampang sekali untuk menangkap udang tersebut.
Udang yang paling besar di sungai kami adalah udang satang atau biasa disebut juga udang galah. Udang galah dapat dipancing, biasanya kami membuat pancing dari jarum pentul atau peniti yang dibentuk sebagai mata pancing, agak kecil agar bisa masuk kedalam mulut udang. Selain dipancing, udang satang bisa juga diserampang atau ditombak, serampang itu mirip trisula, cuma ukurannya lebih kecil, ayah yang membuat. Untuk menombak atau menyerampang udang satang, kita harus mengetahui dulu tempat bersembunyi udang satang berupa cerukkan dipinggir sungai. Kalau ada udang satang mula-mula yang kelihatan adalah sungutnya, kita tunggu sampai kepala udang satang keluar, diserampang lalu digoreng. Saya dan adik saya menangkap udang mulai dari bawah jembatan kampung Ulu sampai ke bawah jembatan ke arah pasar, kira-kira satu setengah kilo meter bolak balik.
Sambil mandi, kami juga mengumpulkan buah karet yang hanyut untuk diadu, buah kemiri untuk diadu juga, dan buah gayam, direbus, enaaaak. Di musim air pasang kami melompat atau terjun kedalam sungai dari tembok depan surau atau dari jembatan dekat rumah Mang Kecap.
Sudah lama sekali saya tidak pulang kampung, terakhir tahun 1964 bersama ayah, mudah-mudahan sungai Muntok masih seperti dulu, tapi saya tidak yakin dengan adanya pembalakan liar dan tambang timah rakyat, entah bagaimana nasib sungai tersebut. Salah satu kawan main saya sekarang menjabat sebagai bupati Bangka Barat, mudah-mudahan beliau masih ingat kondisi sungai dulu dan punya niat dan usaha untuk melestarikannya. Amiiiin.
Selain sirih, di halaman rumah Atok ada pohon pisang, pohon sukun, pohon mangga, pohon kelapa dan pohon bunga kaksiau. Paling enak makan di rumah Atok, masakan Nek Tebing sangat enak terutama gulai ikan dan gulai udang dimasak dengan irisan nenas, Atok selalu memilih bagian yang ikan yang paling gurih dan membuang tulang atau duri ikan sebelum meletakkannya ke piring kami. Kembali ke acara piknik tadi, setelah melewati rumah Atok, kami melewati rumah Pak We Mat dan Mak We Mok, mak we adalah kakak mak yang paling tua atau tue bahasa Muntok nya, jadi dipanggil Mak We.
Kalau lagi musim, kami juga suka mengumpulkan rumput laut, dibuat urap atau yang lebih enak direbus kemudian dicampur sambal asam, enaaak buat lauk nasi, pedasss tapi tidak pernah jera, makan terus sampai habis, berkeringat dan keluar air mata, apalagi kalau minum air suam-suam kuku tambah banyak air mata keluar.
Mak paling pandai memasak, rasanya
paling sedap sedunia, walaupun cuma sambal belacan sama sayur darat paling
sedikit dua piring nasi lewat. Sayur
darat adalah sayur yang paling sederhana,
sayurannya potongan batang keladi atau talas, ditambah bumbu tiga, garam,
cabe, belacan, kalau tidak ada batang keladi, bisa diganti dengan timun
atau kacang panjang atau nangka muda, lebih asik lagi kalau ditambah
udang, kuahnya jadi manis. Saya masih ingat waktu pulang ujian, sampai
rumah mak sudah menyediakan tumis kecambah pakai udang kering, nikmat
sekali, mak paling tahu kesukaan anak-anaknya. Saya sangat kagum sama
mak, anak sembilan, tanpa pembantu rumah tangga, makan kami cukup, baju
rapih, semua bisa sekolah, dan mak pantang berhutang, luar biasa. Mak
sangat teliti dan disiplin, semua anaknya pasti dapat bagian, walaupun
ikan atau ayam satu ekor kebagian semua, lauk tadi dibagi dulu lalu ditarok
di piring masing-masing.
Malam itu kami mancing semalaman, selesai mancing sambil menangkol
cumi-cumi, kembali kedarat, ayah turun duluan dan menambat sampan,
waktu saya mau turun, kaki tidak bisa digerakkan, rupanya terlalu
lama duduk bersila disampan sehingga kaki jadi kesemutan dan kaku,
ayah senyum senyum saja, baru tahu saya, saya kirain gampang saja
mancing
ikan ........ he he. Sejak itu kalau saya makan ikan tidak pernah
bersisa, sampai tulang dan sirip ikan dipatahkan dan di-isap-isap.
Tidak jauh dari SR 3, dijalan setapak, saya menginjak
beling, waktu itu sepatu dijinjing biar larinya lebih enak, lukanya
cukup
dalam dan banyak darah yang keluar. Kebetulan rumah moyang dekat
sekolah, moyang satu tingkat diatas kakek, moyang dukun urut, saya
dibawa kerumah
moyang, dibacakan jampi-jampi lalu luka saya disembur, Alhamdulillah
darah berhenti dan tidak pernah dibawa ke rumah sakit dengan berjalannya
waktu
sembuh. Kembali kisah tentang banyaknya waktu luang untuk bermain dan sekarang
baru saya sadari dengan bermain banyak waktu untuk belajar langsung
dari alam dan lingkungan disekitar kita, sehingga banyak sekali
tindakan yang
saya
lakukan
dalam
pekerjaan maupun hidup berdasarkan pengalaman saya
alami waktu bermain.
Lalu peserta diundi, yang mendapat urutan pertama berdiri diujung lain anak tangga dan menembak karet yang sudah ditumpuk tadi, kalau karet jatuh dari anak tangga maka karet yang jatuh menjadi miliknya. Kalau masih ada karet yang belum jatuh, maka peserta berikutnya mendapat giliran, begitu seterusnya sampai karet jatuh semua. Permainan karet yang kedua, karet peserta disebar, kemudian kira-kira dua atau tiga meter dari karet tadi dibuat garis batas untuk melempar karet gelang gacoan, karet gelang yang disebar yang masuk atau bersinggungan dengan karet gacoan menjadi milik peserta yang melempar.
Gasing terbuat dari kayu dan bentuknya mirip jantung pisang, dibagian tangkainya disisakan sedikit untuk melilitkan tali rami, tali dililitkan terus sampai menutupi bagian atas gasing, lalu gasing dibanting, teknik bantingan harus benar agar gasing berputar. Gasing diadu yang paling lama berputarnya atau benar benar diadu gasingnya, peserta pertama melempar gasing, beserta kedua harus membidik dan melempar gasing yang sedang berputar tadi, kadangkala gasing pertama bisa pecah atau paling sedikit gompal.
Waktu masih kecil dulu kami membuat gasing dari kayu pelawan, ditakik
pakai parang, kemudian dihaluskan dengan kulit ikan pari kering. Kayu
pelawan termasuk kayu yang keras dan berserat halus, cocok untuk bahan
membuat gasing, kalau sudah di haluskan menjadi licin dan mengkilap sehingga
tidak perlu di fernis, agar lebih kuat gasing yang sudah jadi dapat direndam
di air kapur dan warnanya yang tadinya coklat berubah menjadi hitam
Sekali sekali ada pengepul ke kampung kami untuk membeli beling
dan besi bekas, saya dan adik serta kawan kawan keliling kampung,
ngorek ngorek beling dan besi bekas, entah mengapa walaupun hasilnya
tidak
sebanding
dengan usaha kami, tapi kami sangat senang saat menerima uang
hasil jual beling tersebut. Ada juga kegiatan yang berhubungan dengan laut, misalnya musim ikan bilis, musim ikan tongkol. Musim ikan bilis atau ikan teri sangat seru, menjelang nelayan kembali dari melaut, kami ramai ramai kepinggir pantai menunggu sampai sampan merapat. Sampan penuh beisi bilis, bilis langsung dijual ditempat per sumpit (tas dari ayaman daun pandan) atau per blek kaleng minyak makan, nah waktu mengangkat bilis, banyak yang tercecer di pantai, ini bagian kami, berebut, juga sisa sisa bilis di sampan. Hasilnya digabung dengan bilis yang mak beli. Bilis dibuat empek empek, dipepes, digoreng, dimasak pedas atau hip dan dibuat pedak alias rusip. Mula mula bilis dibilas, kemudian kepala dan
isi perutya dicabut. Untuk membuat
empek empek,
bilis
digiling, dibuat adonan dengan tepung kanji, dibentuk jadi
lenjeran lalu direbus, kalau empek empek sudah mengambang
berarti sudah
masak. Empek empek bilis warnanya agak hitam, tapi rasanya
gurih, kalau sudah agak dingin kami makan pakai kuah cuka.
Ayah paling
suka empek empek yang tengahnya setengah matang, biasanya
mak membuat adonannya agak keras sedikit. Kalau mak buatnya
banyak,
empek empek
diiris-iris lalu di jemur jadi
kerupuk,
setelah
kering digoreng, rasa ikannya terasa sekali.
Kalau lagi musim, ikan tongkol harganya murah, dibuat dendeng agar bisa lama disimpan, daging tongkol diiris tipis, diberi garam, gula dan ketumbar, lalu dijemur, biasanya kami diminta mak untuk menjaga dendeng yang lagi dijemur takut dimakan kucing. Sebetulnya lebih enak lagi jaga jemuran potongan empek empek buat kerupuk, sambil jaga sambil makan kerupuk setengah kering, enak, pagar makan tanaman. Kami punya kebun di kampung baru, di kebun ada pohon durian, manggis,
petai, jambu air, rambai, sokak alias melinjo, pisang, cempedak, rambutan,
rukam, nenas etc. Ayah membuat okulasi pohon rambutan dan pohon petai,
kata adik saya Erman sebagian besar pohon di kebun masih ada sampai sekarang.
Sekarang saya sadar bahwa menanam pohon adalah perbuatan mulia, kita
tanam dari bibit yang masih kecil, tumbuh dan berbuah, tanpa terasa,
lalu tumbuhan dinikmati beragam mahluk hidup, cacing, semut, rayap, serangga
lainnya, burung, manusia ditambah lagi dengan oksigen yang dihasilkan,
tempat berteduh etc. etc. Sampai Ayah meninggal dunia, sebagian pohon
yang ditanam Ayah masih ada, mudah-mudahan menjadi amal jariah.
Nah kalau musim jambu bol lain lagi, sebelum berbuah, waktu masih bebungapun sudah asik, kuntum bunga alias bunga yang belum mekar, kami pakai buat peluru sombol. Sombol dibuat dari bambu pagar, terdiri atas dua bagian, bagian badan atau laras dari ruas bambu yang dipotong kedua ujungnya, bagian pendorong dibua dari ruas bambu yang lebih kecil dan ukurannya lebih pendek dari bagian laras.
Kalau sudah berbuah, saya suka mencari buah yang bantat yaitu buah
yang kerdil, tampuknya hijau dan bagian buahnya berwarna merah tua
kalau sudah
masak, tidak berbiji, garing dan manis rasanya, beda dengan buah jambu
bol biasa, banyak air dan tidak crispy.
Yang saya tunggu-tunggu adalah saat Mak menumis kulit buah melinjo, bawang merahnya yang banyak dan biasanya dicampur udang basah dan irisan cabe rawit, enak sekali.
Kami sering menjerat punai, Ayah yang
merajut jerat, berbentuk kerucut, jerat dipasang diatas sarang punai,
bagian bawah jerat dipasang benang klos kira-kira sepuluh sampai dua
puluh meter menjauhi sarang. Tunggu burung punai kembali kesarang,
tarik benang dan burung akan terperangkap didalam jerat.
Ketika bangun pagi-pagi durian sudah terkumpul, rupanya sudah dipungut sama Ayah, niat mau menunggu durian jatuh, eeh jadinya hanya pindah tidur di kebun. Durian dibawa pulang pakai kereta angin, dikupas sama Ayah, lalu kami adik beradik asik makan durian. Ayah dan Mak senyum-senyum saja melihat kami sambil terus mengupas durian. Setelah punya anak, saya baru dapat merasakan enaknya mengupas durian sambil melihat anak-anak kami makan durian. Hampir bersamaan dengan musim melinjo ada musim manggis, dikebun ada dua pohon manggis, satu didepan dekat pokok sokak dan satu lagi dibelakang dekat pohon durian. Dua-duanya rindang terutama yang didepan, umurnya sudah tua, konon kata Ayah sejak jaman moyang sudah ada.
Hampir sama dengan ditempat lain, buah manggis dibuat main tebak-tebakan isi manggis, kami juga suka membuat cupu dari kulit manggis. Kulit manggis diiris denan pisau lipat, irisan zikzak seperti mata geraji dari ujung ketemu ujung, bagian tampuk diangkat, maka isi buah ikut terangkat, isi buah dimakan, kulit buah dijemur sampai kering dan keras, kalau ditangkupkan akan menjadi cupu tempat menyimpan barang-barang kecil.
Dikampung kami Mentok, hasil ikan laut melimpah dan jenisnya bermacam-macam, sehingga menu sehari-hari hampir selalu terbuat dari ikan, udang, rajungan, kerang, lokan, siput gong-gong, wak-wak, remis, teritip dan lain-lain. Jarang sekali makan sayur seperti sawi, kol wortel, kangkung dan bayam, paling-paling daun melinjo, nangka muda, pakis, sayur nenas dan sayur keladi. Apalagi daging sapi hanya ada pada waktu hari raya Idul Fitri itupun kalau beli, biasanya kami menyembelih ayam dan itik serati piaraan kami. Selain hari raya, menyembelih ayam kalau lagi musim ayam sakit, bagi kami musim ayam sakit ada hikmahnya juga ..... he he. Seperti lazimnya memelihara ayam, ada kandang ayam, tempat bertengger ayam tidur, tempat ayam bertelur dan sekalian tempat ayam mengeram. Itik serati tidak tidur didalam kandang tapi dibuatkan kotak dari papan dan dibuat pintu dari bilah papan untuk keluar masuk itik dan untuk mengurung itik. Itik serati kalau telurnya sering diambil akan membuat sarang dirumpun nenas dekat rumah, kadang-kadang itik lama tidak kelihatan, tahu-tahu pulang sudah bawa anak itik, untung mereka masih ingat kandangnya. Ayah pandai membuat mesin penetas telur ayam dan telur itik, dibua dari kotak papan dan triplek, ada rak tempat meletakkan telur, ada thermostat untuk mengontrol suhu mesin penetas, kalau suhu turun maka lampu menyala untuk memanaskan udara didalam mesin penetas dan sebaliknya kalau terlalu panas maka lampu padam. Pada waktu tertentu telur dibalik pada sisi yang berbeda dan penempatan rak telur digilir yang tadinya di atas ditarok di bawah, agar telur mendapat panas secara merata. Sepuluh hari setelah telur dimasukkan kedalam mesin penetas, telur diteropong dengan lampu, telur yang ada bibitnya akan terlihat bintik merah dan ada alur darah seperti akar keluar dari bintik merah tadi, sedangkan telur yang tidak jadi akan berwarna terang dan dipisah buat dimasak. Khusus untuk telur itik, sesekali harus dilap dengan lap basah, biar kenal sama air kali ..... he he. Kalau sudah tiba waktunya menetas, anak ayam atau itik melubangi kulit telur dari dalam, subhanallah, diujung paruh anak ayam atau itik tadi ada tulang kecil mirip tanduk untuk melubangi kulit telur yang nantinya tulang tersebut akan hilang sendiri. Setelah menetas anak ayam dan anak itik dititipkan kepada induk ayam atau itik yang sedang mengeram. Kadang-kadang kalau terpaksa anak ayam dititipkan kepada itik, induk itik bingung karena anaknya tidak mau diajak mandi, sebaliknya kalau anak itik dititipkan kepada induk ayam, si induk juga bingung melihat anaknya berenang. Walaupun demikian, barangkalai karena naluri ke-induk-an induk-induk tadi sayang kepada anak-anaknya, diberi makan, dijaga, dan waktu tidur atau cuaca dingin, anak-anaknya berlindung dibawah badan sang induk. Di kampung kami ada rumah potong hewan, kami menyebutnya rumah jagal, lokasinya dekat muara sungai sehingga darah dan kotoran sapi yang disembelih langsung dibuang ke muara sungai. Rumah jagal hanya digunakan setahun sekali menjelang hari raya, sapi dipotong sesudah magrib agar besoknya bisa langsung dijual ke pasar tanpa perlu di es. Petang hari bersama kawan-kawan, kami ke rumah jagal, kami memanjat dan duduk diatas dinding rumah jagal menonton petugas menyembelih sapi.
Daun ketupat diambil dari kebun, ketupat dianyam beramai-ramai, Mak yang mengisi beras dan kami gantian menjaga agar air rebusan ketupat tidak kering. Mak yang mengajar kami membuat ketupat, saya sempat nguping waktu Mak ngobrol sama saudaranya, dulu Mak yang mengajar Ayah menganyam ketupat, padahal sebenarnya Ayah sudah pandai, akal Ayah saja agar tangan Ayah dipegang sama Mak.
Jakarta (I) Ayah dan Mak
saya beserta kami anak-anak kandung beliau sebanyak delapan orang merantau
ke Jakarta dari Mentok Bangka pada
tahun 1961, saya anak nomor dua dan pada waktu itu umur saya 13 tahun,
adik
saya yang paling kecil Noviar baru berumur dua tahun. Kami berangkat
dari Mentok dengan menggunakan kapal Koan Maru dengan rute dari Medan
menuju
Jakarta dan singgah di Tanjung Pinang dan Mentok.
Karena kapal tidak bisa merapat, maka para penumpang dan barang-barang
bawaan diangkut dengan tongkang dari pelabuhan ke kapal. Sampai di
kapal perlu usaha extra untuk naik ke kapal, karena ombak agak besar
dan tongkang
terayun-ayun oleh ombak, di kapal kami dapat tempat di deck dekat haluan
kapal. Waktu tempuh dari Mentok ke Jakarta sekitar 24 jam, di deck
udara terasa dingin karena banyak angin apalagi pada waktu malam hari.
Dalam perjalanan
itulah pertama kali kami sekeluarga harus antri untuk mendapatkan
makanan. Adik-adik saya sekolah di SD Tebet, saya dan kakak perempuan saya sekolah di SMP Wydiasana, Gang Bedeng, dekat Pabrik Angin Jl. Minangkabau, dari Tebet biasanya kami jalan kaki bersama kawan-kawan. Kalau pelajaran olahraga kami ke lapangan bola milik Perusahaan Kereta Api di Manggarai, dari sekolah lewat gang kesana. Ada suatu hal yang sangat berkesan pada waktu sekolah, guru matematika Pak Siregar, memberikan teka-teki, menurut beliau dengan menggunakan matematika bisa dibuktikan bahwa banyak orang yang masih hidup sebetulnya sudah pernah mati. Kami sekelas tidak bisa memecahkan teka-teki tersebut, akhirnya Pak Siregar menjelaskan setengah ditambah setengah sama dengan satu, seandainya seorang bapak tiga hari yang lalu bekerja setengah mati dan hari ini dia bekerja setengah mati lagi, berarti dia sudah satu kali mati .... he he. Waktu sekolah saya pernah dimarahi ayah gara-gara dipenghapus saya (dari karet dan warnanya putih) ada tulisan I LOVE YOU, saya sempat di-interogasi, tapi saya tetap menjawab tidak tahu siapa yang menulis, barangkali salah satu teman yang nulis buat kakak saya Farida .......... salah alamat dia ...... he he, tapi saya yang kena getahnya. Dengan modal yang dibawa dari kampung,
ayah membeli kavling dekat kontrakan lalu kami membangun rumah
sendiri, ayah sebagai arsitek, insinyur, pemborong, tukang batu
merangkap tukang
kayu dan kami jadi kenek. Enam bulan kemudian bersamaan dengan
habisnya masa kontrak, Alhamdulillah kami pindah ke rumah baru.
Rumahnya unik,
tembok batako tanpa di plester, kusen pintu dan jendela lengkap,
tapi diruang tamu tidak ada daun pintu dan daun jendelanya, sehingga
kalau duduk di ruang tamu serasa duduk diruangan full AC. Untung
atap genteng sudah terpasang komplit, sehingga kami tidak kehujanan
dan
tidak kepanasan. Kamar mandi dan jamban jadi satu diluar rumah,
malam hari, mau buang air, takut ke kamar mandi, beda dengan di
kampung kamar
mandi kami satu atap dengan rumah. Tahun 1962 dan 1963 merupakan tahun yang sulit, untuk mendapat
beras, minyak tanah dan kadang-kadang bahan pakaian, dibagi kupon,
kami beramai-ramai
harus antri, malah saat itu kami sempat makan bulgur. Kalau ayam
diberi makan
bulgur
kering
bisa mati, karena bulgur banyak menghisap air, sehingga ayam
kehausan, minum air, bulgur mengembang dan tembolok ayam bisa pecah.
Jadi
kalau mau mengkonsumsi bulgur harus direndam dulu, baru dimasak
atau diberikan
kepada ayam, konon di negeri asalnya bulgur buat makanan kuda.
Hebatnya kalau makan bulgur perut cepat kenyang dan rasa kenyangnya
bertahan
lama apalagi kalau sering minum setelah makan. Bulgur juga dibuat
roti sebagai pengganti gandum, dijajakan oleh tukang roti keliling,
kami
menamakannya roti bantal, sanga manjur buat mengganjal perut. Rumbai Pekanbaru (I) Setelah kenaikan kelas kami berangkat ke Pekanbaru naik pesawat terbang .... horeee, first time in my life, pesawat jenis Convair, jumlah tempat duduk sekitar tiga puluh dan kami bersepuluh, berarti sepertiga kapasitas tempat duduk. Kami berangkat dari Kemayoran Airport dan di Pekanbaru kami mendarat di Pelabuhan Udara Simpang Tiga, landasan pesawat masih menggunakan tanah yang dikeraskan. Di Rumbai kami tinggal di rumah kontrakan di Kampung Bedeng, tidak jauh dari rumah ada Klinik dan Bus Station milik perusahaan. Kalau mau ke pasar di Pekanbaru kami naik Bus Panjang, kepalanya menggunakan kepala trailer dan badan bus yang ditarik mirip gerbong kereta api. Kalau terbayang Bus Panjang saya teringat sebuah gurindam yang berbunyi Bus Panjang batali kawek, Awak bujang baranak ampek. Antara Rumbai dan Pekanbaru di pisahkan oleh sungai Siak, bus berhenti didekat sungai dan kami menyeberang ke Bom Baru di Pekanbaru dengan menyeberangi jembatan Ponton. Kalau ada kapal yang mau lewat, maka beberapa tongkang yang merupakan bagian dari jembatan dibawa ke pinggir sungai, setelah kapal lewat, tongkang-tongkang tadi dikembalikan menjadi jembatan untuk kendaraan dan orang lewat. Dari Bom Baru kami ke Pasar Pusat Pekanbaru dengan menumpang oplet. Biasanya kembali dari pasar, Ayah suka bertanya mau naik oplet atau beli martabak, pastinya kami pilih beli martabak dan jalan kaki ke Bom Baru. Di Rumbai saya dan kakak saya Farida
sekolah
di SMP Indrapura yang biasa disebut juga SMP Goni, konon sekolah
tersebut
didirikan oleh pegawai perusahaan dengan modal jualan karung
(goni) bekas. Waktu kami masuk sekolah, kami merupakan angkatan pertama
kelas tiga bersama sepuluh teman-teman sekelas. Karena PT Caltex
Pacific
Indonesia merupakan perusahaan asing, maka teman teman kami
anak pegawai sangat mahir berbahasa Inggris dan kami yang belum pernah
jumpa orang
asing sangat ketinggalan dan paling tersiksa pada waktu mengikuti
mata pelajaran tersebut. Alhamdulillah waktu ujian akhir SMP
kami
berdua
ikut lulus. Kemudian kami melanjutkan sekolah ke SMA 1 Pekanbaru,
adik saya Tamrin sekolah ST, juga di Pekanbaru dan adik-adik
yang lain sekolah
di SR Negri Rumbai.
Selama di Rumbai untuk makan sehari-hari sudah mencukupi, karena pada waktu itu pegawai dan keluarga mendapat pembagian natura seperti beras, gula, sabun, minyak tanah dan lain-lain, sebagian dari natura dijual untuk membeli lauk pauk dan pakaian, kalau sayur bisa didapat disekitar rumah, daun singkong, buah nangka muda, pucuk paku, daun labu dan lain-lain. Fasilitas rumah sakit Perusahaan sangat lengkap dan adik bungsu kami Rosmala lahir di Rumah Sakit Rumbai. Di Rumbai, mula-mula Ayah mengontrak rumah di seberang kampung Bedeng, dipisahkan oleh jalan menuju Bom Lama (pelabuhan milik Calex) dan sebatang sungai kecil. Barang-barang perabot rumah tangga dan peralatan Ayah dikirim lewat laut dan ditanggung oleh perusahaan. Sebagian dari barang barang tadi di pak dengan bambu, sehingga kami punya banyak persediaan bambu, buat layangan, aur dan busur panah. Ada kawan saya, Sucipto Soentoro, ayahnya pegawai staff dan tinggal di atas, sebutan untuk lokasi perumahan perusahaan. Kawan saya tadi suka mengajak saya main di lapangan didepan rumah-nya, di punya busur dan anak panah untuk berburu yang katanya dibeli dari Amerika, sangat bagus sekali. Karena ingin punya juga, saya dan adik membuat busur dari bambu, tidak sebagus barang impor tentunya, tapi berfungsi, sasaran kami pohon nangka yang banyak tumbuh dekat rumah. Kalau diingat sekarang, saya merasa ngeri membayangkan betapa berbahayanya mainan tersebut. Tempat bermain kami yang lain adalah dikebun dan ladang tetangga dibelakang rumah, kadang-kadang kami bermain sampai ke hutan karet dibelakang kebun. Kami tidak merasa takut, sampai suatu kejadian mendekati Hari Raya Qurban, ada harimau masuk kampung dan menerkam anjing dikolong rumah tetangga. Sejak saat itu kami tidak pernah lagi bermain ke hutan karet, apalagi ada kejadian pengumpul getah karet diterkam harimau. Bermainnya hanya didekat rumah, diantaranya memancing di anak sungai Siak dekat rumah, dimusim hujan banyak ikan baung. Dulu ikan baung jarang dimakan dan tidak laku dijual, tetapi sekarang merupakan salah satu ikan yang paling dicari selain ikan patin, gulai santan ikan baung, pakai sambal cabai hijau, lamak banaaaa, sedap, mau? silahkan singgah ke kedai Pak Mansur di Jl. Sekolah, Rumbai. Selang beberapa bulan kemudian, Ayah mengajak kami pindah ke Kampung Bedeng, saya tidak tahu kenapa, pokoknya kalau Ayah sama Mak pindah, pastinya ikut pindah. Sebelumnya sudah saya ceritakan, beras, gula, garam, sabun, minyak makan dan minyak tanah dapat jatah dari perusahaan dan jumlahnya lebih dari cukup untuk keperluan sehari-hari. Jadi tinggal cari lauk, Mak suka mengajak saya belanja ke Pasar Bawah Pekanbaru, utamanya beli ikan asin, belacan, bawang dan cabe. Kalau sudah punya persediaan bahan-bahan tadi, aman, ikan asin digoreng, belacan dan cabe buat sambal belacan, sayur utama nangka muda direbus, makan sampai kenyang. Saking seringnya nangka muda diambil, kadang-kadang kami kehabisan stock, sehingga suka minta sama tetangga, untungnya tetangga memaklumi keadaan kami, sembilan anak yang lagi lahap-lahapnya makan. Selain nangka muda rebus, menu yang lain yang kami cari disekitar rumah adalah sayur daun paku (pakis) merah, kalau dimasak, kuah sayur berwarna merah, daun ubi kayu, daun labu, kacang panjang dan lain-lain. Untuk makanan tambahan Mak mengolah ubi kayu jadi godok, ubi goreng, ubi rebus, lapek ubi dan penganan dari bahan ubi kayu lainnya. Ubi kayu kami beli langsung dari kebun tetangga, sekali beli satu karung isi 20 an kilo, dek seringnya beli, ubi kayu satu ladang bisa habis, sehingga kami harus pindah ke ladang yang lain. Jakara (II) Semester pertama SMA, Ayah mengajak pindah lagi ke Jakata, menurut orang tua saya, walaupun makan cukup tapi kalau kita terus tinggal di Rumbai akan susah melanjutkan sekolah nantinya. Tahun 1964 kami kembali ke Jakarta, kami tinggal dirumah adik ayah di Tomang Ancak (sekarang di belakang Rumah Sakit Kanker). Ayah membeli kavling di dekat situ dan membangun rumah. Waktu tinggal di Tomang saya dan kakak sekolah di SMA 11 Filial, tempatnya di lokasi Sekolah Yasporbi di komplek Bank Indonesia Pancoran, dari Tomang kami naik bus Robur ke sekolah. Kebetulan di SMA ini kami juga merupakan angkatan pertama kelas satu, karena sekolah filial tersebut baru di resmikan. Sahabat saya satu angkatan antara lain Haris Supriadi, Sujudi dan Anton Lirayana. Tahun 1965 berkat bantuan adik ayah, Norma Moesa, kami sekeluarga pindah Kompleks Kejaksaan Agung Tebet Barat 9D, ayah bekerja di Kejaksaan Agung sebagai mekanik merangkap supir Bus Pegawai. Seingat saya waktu itu kantor Kejaksaan Agung masih di Lapangan Banteng, sehingga pagi-pagi ayah mengantar pegawai Kejaksaan Agung yang tinggal di komplek menuju Lapangan Banteng dan sore harinya balik lagi ke Tebet.
Membuat kue dilakukan secara gotong royong, ada yang menggiling beras, mecari daun suji, menumbuk daun suji, memasak, mengeluarkan kueh yang sudah masak dari mangkuk, mengantar kueh ke Sarinah, pekerjaan yang paling vital yaitu mencampur dan mengaduk bahan kue selalu dilakukan oleh mak. Tamat SMA saya dan kakak ikut ujian tes masuk UI di Istora Senayan, kakak saya masuk Fakultas Hukum. Pada waktu pengumuman hasil tes nama saya tidak ada di daftar yang lulus ujian masuk Fakultas Teknik UI. Ketika saya beritahu Ayah sama Mak, Ayah tidak mau terima dan menyuruh saya untuk kembali ke Salemba dan melihat kembali papan pengumuman, setelah saya teliti lagi, nomor peserta saya tercantum disitu, rupanya pengumuman disusun berdasarkan jurusan, weleh weleh malu deh sama orang tua. Ayah saya meninggal dunia waktu saya naik tingkat tiga, untuk ikut meringankan beban ibu, kakak saya Farida kerja di Perusahaan Asuransi Jiwasraya, saya sempat mengajar di SMA XI Fillial, kemudian akhir tahun 1970, paman saya Ikhyar Musa yang waktu itu kerja di IBM menawarkan saya untuk ikut kursus Fortran di kantor PU Kebayoran Baru, disamping Mesjid Agung. Setelah itu saya diajak kerja di PT Pansystem di Menteng Raya dan ikut kursus programming di IBM diantaranya RPG, Cobol, PLI dan lain-lain. Mula-mula kami mengunakan computer di MABAK, memory nya hanya 16KB dan masih menggunakan kartu punch card untuk me-load compiler, sehingga kalau mau meng-compile program, dimasukkan dulu kartu RPG Compiler dan dibelakangnya menyusul kartu program yang akan kita compile. Kalau tidak ada error, lalu dibuat object program, kemudian program ditest, bayangin saja kalau ada kesalahan di program, berapa banyak kartu yang harus dibuang. Tahun 1972 Pansystem sudah punya mesin IBM sendiri dengan memory 32KB dan sudah menggunakan Disc Operating System, sehingga tidak perlu kartu compiler lagi karena Operating System dan Compiler sudah ada di dalam system, tetapi program dan object program masih menggunakan punch card. Customer kami pada waktu itu antara lain BKKBN, Telkom, Pertambangan, Unilever, Pusri dan lain-lain. Khusus untuk Telkom Billing System, saya mendapat assignment untuk membuat program mencetak tagihan dan pertama kali saya membuat program untuk menterjemahkan jumlah tagihan menjadi terbilang dalam huruf. Pada Era Komputer di tahun 1970an, sebagai programmer kita menulis program dalam Computer Programming Sheet lalu disampaikan kepada Key Puncher untuk membuat source program dari punch card, salah satu key puncher tinggal di Tebet dan hampir tiap hari kami berangkat dan pulang kerja bersama. Setelah berkenalan beberapa waktu saya dan Mak melamar calon istri saya Erry Suryati Tasik, kami naik beca berdua kerumah calon mertua. Alhamdulillah semua berjalan lancar, bertunangan dan sebulan kemudian sesudah bertunangan pada tanggal 1 February 1973 kami menikah. Saya tinggal dirumah mertua, enak, pagi-pagi sarapan sudah tersedia, bawa bekal ke kantor, makan malam dirumah sudah disiapkan mami. Tanggal 13 December 1973 anak pertama kami Erwin Sagata lahir, karena kami berdua tetap bekerja maka tiap hari Erwin di rumah sama mami. Nama mami Rukmiyati, biasa dipanggil Ning Yati, Mbak Yati atau Bu De Yati. Rumah mami di jalan Melinjo V, sekarang Tebet Barat VI/J.
Rumbai Pekanbaru (II)
Pada waktu percobaan selama tiga bulan saya tinggal di DBQ atau rumah tinggal lajangan dan makan di mess hall. Sarapan, makan siang dan makan malam. Disamping me-maintain Payroll System, kegiatan rutin waktu itu antara lain belajar computer programming PLI, CICS pakai video cassette, berenang dan perbaikan gizi. Selesai masa percobaan saya kembali ke Jakarta menjemput istri dan anak pertama kami Erwin Sagata yang waktu itu baru berumur satu setengah tahun. Dari DBQ kami pindah ke rumah tipe IV dekat Taman Kanak-Kanak Lama. Pergi dan pulang kantor ada jemputan bus panjang, kendaraan kenangan saya waktu kelas tiga SMP dan tinggal di Kampung Bedeng. Sekali waktu Mak dan Ibu Metua saya datang menjenguk ke Rumbai, beliau berdua brkata kasihan ya anak kita kayak di kebun binatang, maklum bus panjang yang biasa menjemput, jendelanya masih memakai kawat ram .... he he. Pengalaman unik waktu belanja pertama kali ke Pasar Bawah dengan istri saya Erry, perginya bawa keranjang kosong, pulangnya bawa keranjang kosong lagi. Memang waktu itu pasar belum seramai sekarang, timun yang dijual timun darat, kulit luarnya berwarna kuning dan keras dan sayur lain sulit didapat. Tapi lama kelamaan kami jadi biasa dan dengan bertambah baiknya sarana transportasi ke Sumbar dan Sumut maka sayur mayur, buah-buahan dan ikan semakin banyak dan mudah didapat. Malah acara ke pasar menjadi acara rekreasi di ujung minggu bersama tetangga, kami menunggu di halte bus dan ada bus antar jemput belanja. Setahun kemudian kami pindah ke rumah tipe III di KM tiga setengah, kebetulan di depan rumah ada halte bus, sehingga banyak tetangga yang mampir sambil menungu bus kelilin atau bus belanja. Dari situ kami pindah ke rumah tipe I di daerah Tanah Merah dan terakhir pada tahun 1980 kami pindah ke rumah baru di komplek Meranti dekat American School. To be continued. Rumbai menurut pendapat anak kami Winry Marini
It was 1981 when the first time I felt the fresh
air. When I was a kid, I had many activities, especially drawing, made
stories, painting, played with my pets and so on. Every time I visited
Rumbai made me happy, it felt like in a time tunnel to come to where
I belong. Being lonely maybe is a big part of my life there, but it's an ordinary live. It's not so bad, because with my imaginations, I can create many things. I have friends at school, we play together. I like my pets, many things I can learn from them. I had many times at home. My mother had many friends and social activities and our house always full of guests. I didn't like school for theory. I like practical. more ........ rumbai.blogspot.com Winry's famous blog, Indonesian Folklore
Tepat pada tanggal 1 Juli 2004, saya memasuki masa pensiun, kami langsung pindah ke Jakarta.
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
Indonesian
Folklore
http://indonesianfolklore.blogspot.com/ |
Kelingking
Folklore from Bangka Belitung http://indonesianfolklore.blogspot.com/2008/10/kelingking.html |
|
Umpit and
the Wild Hogs
Folklore from Bangka Belitung http://indonesianfolklore.blogspot.com/2008/09/umpit-and-wild-hogs.html |
A long time ago in Bangka, lived a hunter. His name was Umpit. |
Putri Pinang
Gading
Folklore from Bangka Belitung http://indonesianfolklore.blogspot.com/2008/06/putri-pinang-gading.html |
A long time ago in Belitung, there were a couple
of husband and wife. The husband was a fisherman. The husbands name
was Pak Inda and the
wife’s name was Bu Tumina. They lived alone in their house. They
did not have any children. |
WIKIPEDIA |
Bangka-Belitung Islands is a province of Indonesia, which includes two main islands, Bangka and Belitung, and several smaller ones that lie from the east of Sumatra to the northeast of South Sumatra province. The Bangka Strait separates Sumatra and Bangka, and the Gaspar Strait separates Bangka and Belitung. The South China Sea is to the north, the Java Sea is to the south, and Borneo to the east is separated from Belitung by the Karimata Strait. The province was formerly part of South Sumatra, but became a separate province along with Banten and Gorontalo in 2000. In 2004 its population was 1,012,655. The capital is Pangkal Pinang. These islands have significant mining (the largest producers of tin in Indonesia). They also produce white pepper CPO etc. Bangka Belitung also has many beaches and smaller islands which have attracted tourists from around the world. The famous beaches are Matras beach, Parai beach, Tanjung Pesona beach, Batu Bedaun beach, Remodong beach, Pasir Padi Beach, Tanjung Kelian Beach, Rebo beach, Telok Uber Beach and many others. Administrative divisions Bangka-Belitung is divided into six regencies (kabupaten) and 1 city (kota): * Bangka (regency seat: Sungailiat
(town)) |